Selasa, 10 April 2012

KEYAKINAN TERHADAP ASAL MUASAL


Yakin adalah suatu nikmat yang tidak ada lagi selainnya. Karena itu tidak ada nikmat yang lebih tingga daripada yakin, dan tidak ada juga sesuatu yang lebih rendah daripada yakin. Yakin adalah kepastian yang sesuai dengan realitas yang tidak bisa salah. Barangsiapa mencapai maqam (tingkat) yakin dalam tauhid, maka dia merasakan suatu kenikmatan yang tidak dibarengi dengan segala bentuk kesedihan dan ketakutan. Dan tidak merasa sedih atas apa yang telah lalu dan tidak merasa takut kepada sesuatu yang akan datang.


Keyakinan Terhadap Asal-Muasal (Mabda’), Hari Kemudian, dan Argumentasinya
Al-Qur’an al-Karim sebagai kitab cahaya dan hidayah:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus, 10: 57)
mengatasi semua duka dan nestapa hati. Tidak ada kesedihan dan penderitaan hati yang lebih buruk dibandingkan kegelisahan, kebingungan, kegoncangan, dan ketakutan. Oleh karena itu, Al-Qur’an al-Karim berusaha menjadikan roh senantiasa tenang dan tenteram. Cahaya yakinlah yang menjamin ketenangan dan kedamaian roh. Yakin harus berhubungan dengan suatu prinsip asal muasal (mabda’) yang meyakinkan agar mendapatkan  keistimewaan-keistimewaan ini, yaitu menjadi dasar ketenangan roh, obat penyakit-penyakit yang membawa kesembuhan bagi roh, mencabut akar-akar kesedihan, kegelisahan, dan ketakutan serta menjaga ketenteraman roh dan keselamatan jiwa.
Karena yakin termasuk nikmat Allah SWT. Yang paling utama dan ketenteraman, maka Al-Qur’an al-Karim berusaha agar manusia mencapai tingkat yakin terhadap mabda’ dan ma’ad (Hari kemudian)
TAFSIR AYAT 24
Di dalam pangkal ayat ini disusunlah siapa-siapa dan apa-apa yang amat dicintai oleh manusia.

Pertama, Manusia amat cinta kepada bapaknya, termasuk  juga ibunya. Karena dia adalah keturunan penyambung darah dari ayahnya. Dia berbangga meletakkan ‘bin’ di ujung namanya untuk menyambungkannya dengan nama ayahnya. Ayah lebih dari raja, di dalam hati seorang anak. Ayahnya adalah pujaannya di kalam masih kecil. Dan kalau dia telah dewasa, ayahnya adalah tempat dia mengadukan kesulitan dirinya. Dan kalau di telah tua, sedang ayahnya telah meninggal, dia pun akan membangga-banggakan pula kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya, tentang nenek-moyang yang telah berpulang itu. Sehingga bagi si cucu, karena uraian ayahnya, nenek itu adalah laksana dewa. Dari sebab itu timbul nama keturunan, nama suku dan saka. Oleh sebab itu maka cinta kepada ayah adalah bagian dari kebanggaan jiwa manusia’  (Lihat tafsir al-baqarah ayat 2oo: “…maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu”.
Kedua, ialah anak. Anak adalah penyambung keturunan. Jika dia telah tua dan anak telah besar, kadang-kadang si anak telah beranak pula, tidaklah merasa canggung si ayah tadi, kalau dia mesti mati. Dia telah ada mempunyai sambungan keturunannya. Betapa pun kaya raya, banyak harta, sepilah rasanya hidup kalau anak tidak ada. Kalau anak berdua bertiga, masing-masing menjadi buah mulut, dipuji dekat orang lain, meskipun si ayah telah tahu bahwa orang lain akan bosan mendengar memuji anak. Si anu telah maju, si anu telah tamat sekolahnya, si anu telah masuk fakultas dan si anu telah bertitel. “Nyinyir” merpekatakan  anak adalah suatu penyakit dari seorang ayah di kala tuanya, yaitu penyakit yang timbul lantaran cinta kepadanya.
Anak adalah “buah hati” pengarang jantung, obat perih pelerai demam. Kadang-kadang ayah yang telah tua, bangga dengan kelemahan dirinya melihat kekuatan anaknya. Anaknya adalah buah mimpinya, anaknya adalah kumpulan dari cinta hidupnya. Tidak mengenal edaran siang dengan malam. petang dan pagi, jerih dengan payah, karena mencarikan semua itu demi untuk anak. Ini adalah naluri manusia. Sehingga orang tidak bisa dilarang dengan segala macam undang-undang mana pun juga untuk tidak mengasihi anaknya.

Ketiga, ialah cinta kepada saudara. Abang mengasihi adik dan adik mengasihi abang. Kadang-kadang meskipun mereka berkelahi sambil bermain-main waktu di waktu kecil sampai si adik menangis diganggu abangnya, namun si abang akan segera membujuk adiknya kembali. Dan kalau sudah sama-sama dewasa dan dibawa oleh untung dan nasib masing-masing, namun kedua pihak masih tetap rindu merindui. Apalagi kalau ayah terburu meninggal dunia, sehingga memandang si abang akan ganti ayahnya. Kadang-kadang meninggal seorang saudara dan dia meninggalkan anak. Adiknya memungut anak yatim itu dan memandangnya sebagai anaknya sendiri, dan memang anaknya. Kalau saudara diganggu oleh orang lain, tergeraklah hati buat membela dia. Maka, ini pun dinamakan naluri manusia.

Keempat, ialah cinta suami dan isteri. Bila seorang telah dewasa dia akan mencari jodoh teman hidup. Kepada isteri seluruh kasih sayangnya ditumpahkan. Di waktu muda karena rupawan dan kecantikan, di waktu anak-anak telah ada, ialah karena isteri teman hidup dikala mengasuh dan membela anak. Di waktu tua bertukarlah isteri menjadi teman hidup yang setia, karena anak-anak telah pergi membawa jodohnya masing-masing. Di waktu seorang suami  masih muda remaja dan isteri pun demikian, suamilah pembela isterinya. Tetapi kalau sudah sama-sama tua, tidak ada lagi perempuan lain untuk menumpangkan nasib diri, untuk mengadukan suka dan duka, melainkan isteri. Itulah sebabnya maka suami-isteri yang telah bergaul berpuluh-puluh tahun sikap hidup mereka menjadi satu, bahkan kadang-kadang wajah mereka menjadi satu padu pula. Sikap gagah perkasa laki-laki yang ada pada waktu muda, mulai dikembari oleh sikap lemah lembut isterinya, sehingga dia penyabar. Dan sikap lemah lembut si isteri mulai berkembang menjadi keras dan streng, karena telah dikembari oleh sifat suaminya. Akhirnya apa yang dirasai oleh suaminya, meskipun tidak dikatakan, diketahui oleh isteri dan dirasakan. Demikian pula keluh kesah isteri, meskipun dia berdiam diri, namun suaminya tahu juga. Inilah naluri cinta yang mesra. Kadang-kadang anak-anak muda mentertawakan nenek-nenek suami isteri yang tua, sebab sudah laksana surut sebagai semula kawin, tapi masih berkasih mesra. Padalah kalau si anak muda itu sampai mencapai pergaulan suami-isteri berpuluh tahun sebagai nenek-nenek itu pula kelak, barulah akan fahami bahagia di saat tua, cinta kasih benar-benar telah jadi padu. Sebab si kakek tidak ada melihat lagi perempuan lain, melainkan nenek tua isterinya itulah. Dan si nenek perempuan tua itupun tidak ada lagi melihat laki-laki lain, melainkan si gaek itulah. Cinta mereka sudah lebih tulus ikhlas daripada cinta dua remaja yang baru kawin.

Kelima, ialah cinta kaum keluarga. Di dalam ayat tersebut ‘asyrah’, yang pokok asal artinya ialah pergaulan. Dengan ‘asyrah’ kita bertemu ber-musyawarah, yaitu bergaul. Cabang dari satu keturunan yang senanak dan sebapa, yang bertali sepupu sekali dan sepupu dua kali. Kemenakan dan anak saudara, yang telah jauh dan masih dekat. Adanya kaum keluarga menyebabkan orang tidak merasa canggung hidup dalam dunia ini. Tandanya masih ada serpih belahan dan juraian keluarga. Walaupun tempat telah berjauhan namun hati tetap dekat. Malahan bertambah berjauhan bertambah rindu merindui. Bila terdengar kaum keluarga itu mendapat keuntungan, kita merasa bangga di tempat lain. Kalau orang bertanya, kita jawab: “Dia masih keluargaku”.  Jauh jelang-menjelang, dekat tinjau meninjau.

Keenam, ialah harta benda yang kamu dapati. Entah sawah, entah ladang, entah harta pusaka tua, baik peninggalan orang tua-tua atau hasil jerih payah sendiri, semuanya adalah tempat  pautan cinta. Sebab akan sepi rasanya hidup kalau tidak ada harta tempat sandaran. Semuanya orang ingin mempunyai kekayaan, menkipun tidak semuanya mendapat sama rata. Harta adalah kebanggaan dan jaminan harga diri.

Ketujuh, ialah perniagaan yang ditakuti akan mundurnya atau perniagaan yang ditakuti kerugiannya atau sepi dari pasaran. Barang terbeli, harganya jatuh. Sebab perniagaan adalah prehitungan di antara laba dan rugi, diantara pasaran ramai dan sepi, diantara harga naik dan harga turun. Dan keuntungan perniagaan manusia mengambil bekal untuk hidup. Selalu ingin berlaba dan selalu takut akan rugi. Sebab itu adalah orang berniaga yang jatuh seluruh cintanya kepada perniagaan itu, sehingga tidak ingat kepada yang lain lagi.

Kedelapant, ialah tempat kediaman yang disukai, tumah tangga yang hati telah tertumpah kepadanya. Rumah tempat keduaman tersebut dalam bahasa Arab disebut ‘Maskan, jama’nya ialah Masaakina, dan itulah yang ditulis dalam ayat ini. Kalimat Masaakina, serumpun dengan Sakinah dan Sukuun, artinya diam dengan tenteram. Pulang dari mana-mana ke dalam rumah, untuk mengistirahatkan badan, untuk berdiam tenteram. Betapa pun ribut, sibuk dan rapat di peluaran, sampai di rumah istirahat menghunjur panjang, menukar pakaian yang kotor, mandi dan membersihkan diri, bercengkerama dengan anak dan  isteri. Kita merasa timbulnya semangat baru bila telah ada di rumah, untuk kelak di bawa keluar lagi. Dan selalu, kalau kita hendak pergi keluar lagi, berat rasanya badan ini untuk meninggalkan rumah. Sebab rumah kediaman adalah sangat mengikat diri.
Kedelapan nikmat Tuhan yang disebutkan ini adalah tempat hati terpaut, tempat cinta tertumpah. Tetapi ayat memberi peringatan, bahwa walaupun yang delapan itu sangat dicintai, janganlah lupa bahwa semuanya itu adalah nikmat dari Yang Maha Esa belaka. Semua itu adalah nikmat pokok pangkal segala cinta, yaitu Allah. Kedelapannya bisa hilang dari kita, ataupun kita yang hilang dahulu daripadanya. Ayah, anak, saudara dan isteri bisa mati dahulu dari kita. Atau sedang kasih kita berpilih, kita mati dahulu daripada mereka. Air mata tidak bisa mengundurkan saat percerain. Sawah ladang bisa tergadai karena miskin.  Perniagaan bisa rugi atau terbenam hutang, karena pasaran sepi dan tidak laku. Rumah kediamanbisa runtuh, terbakar atau terjual, atau kita turun dari dalamnya pergi terusir dengan membawa bekal seadanya, karena suatu sebab yang tidak kita sangka-sangka lebih dahulu.

Pendeknya, kalau kepada semuanya itu cinta kita terpaut, kita akan sengsara dan kita akan kehilangan tujuan hidup yang sebenarnya. Janganlah kita cintai segala yang akan kita tinggalkan ataupun meninggalkan kita, tetapi cintailah yang selalu ada dekat kita dan kepada-Nya kita kembali, yaitu Allah!.

Cinta Allah membawa cinta kepada Rasul. Sebab Rasul adalah penjelmaan dan bukti daripada cinta Allah kepada kita. Sebab Rasul adalah utusan Tuhan buat menyampaikan perintah-perintah Allah bagi kemashalatan hidup kita. Maka di dlaam hidup kita yang dikelilingi oleh segala cabang cinta duniawi itu adalah satu jalan saja yang kita tempuh, yaitu “Jalan Allah”. Kalau ‘Sabil’ Allah tidak lancar jalannya dalam dunia ini, maka segala yang dicintai yang delapan macam tadi tidak ada artinya lagi. Bila keterrpautan cinta kepada kedelapan macam nimat itu lebih kita utamakan daripada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan membuat enggan pergi berjuang dijalan Allah, maka semua itu tidaklah ada artinya.

Kepada kaum muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah tadi, mereka terpaksa beangkat ke Madinah. Tinggal ayah, tinggal anak, tinggal saudara, bahkan tinggal isteri. Tinggal rumah kediaman, harta benda dan tinggal perniagaan. Berangkat ke Madinah mendapati hal yang belum tentu. Suhaib orang Rum itu telah kaya raya di Makkah meskipun mulanya dia anak dagang dari benua Rum, telah menjadi warga negara Mekkah. Ketika dia akan pindah, ada orang musyrikin yang mencerca dia: “Telah kaya engkau sekarang sejak tinggal di negeri  kami. Sekarang setelah engkau kaya, engkau akan pindah meninggalkan kami. Sombongnya engkau!” Apa kata Suhaib? Dia berkata: “Kalau lantaran harta benda kekayaan ini kalian hendak mencercaku sebab aku hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, silakan kalian ambil harta ini semua.” Lalu dia berkan semua harta bendanya kepada mereka, dan dia pergi ke Madinah dengan hanya sebatang tubuh.

Beberapa orang ragu hatinya akan pindah, sebab cinta kepada rumah. Salah satu sebab yang mengikat Abbas, paman Nabi saw. sendiri sehingga dia tidak segera menyatakan diri memeluk Islam dan bersedia hijrah, ialah sebab harta benda dan rumahnya sangat mengikat hatinya. Padahal setelah dia tertawan, dia wajib menebus dirinya dua setengah kali lipat dari tebusan orang lain, bahkan emas yang disembunyikannya di dalam tanah, yang hanya diketahui olehnya dan isterinya, dibongkar juga rahasianya oleh Rasulullah saw.

Maka ayat ini adalah pedoman hidup bagi kita Muslimin. Tuhan mengancam, kalau kedelapan perkara itu yang lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad pada jalan-Nya, maka awaslah kamu, tunggulah ketentuan Tuhan akan datang. Bahaya ngeri akan bertemu. Dan kalau bahaya itu datang, kedelapan perkara yang kamu cintai  itu tidak akan sanggup menolong kamu. Tinggalkanlah itu semua! Sebab kedelapan yang kamu cintai itu adalah nikmat Tuhan.  Kalau Tuhan yang menyuruh kamu meninggalkannya, alamat Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik, yang tidak kamu sangka-sangka dari semula. Tetapi kalau kamu ragu, kedelapannya lebih kamu cintai daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya, akan remuklah kamu oleh bencana yang di datangkan oleh Tuhan. Inilah ujian besar daripada pokok cintamu!

Di akhir ayat, Tuhan telah mengatakan pokok dari bahaya itu: “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS. At-Taubah, 9: ujung ayat 24).

Siapa orang yang fasik? Fasik artinya durhaka. Fasik artinya tidak memperdulikan seruan kebenaran Allah, karena mempertuhankan kehendak hati sendiri.  Misalkan, karena sangat cinta kepada isteri, tidak mau masuk dalam barisan pejuang, lalu berbenam saja di rumah. Orang pergi, dia tinggal. Kawan habis, awak kian lama kian sepi. Derajat roh menjadi turun. Bila sudah ketinggalan kereta apii, jalan mana lagi yang akan ditempuh? Illahnya adalah nafsunya sendiri. Allah SWT. berfirman: “
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jaatsiyah,45: 23)

Dan firman-Nya yang lain:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqan, 25: 43)

Hilang kekayaan jiwa, kemegahan rohani, yaitu iman dan kafilah menjunjung kebenaran, karena diri dirintangi oleh cinta yang maya sifatnya. Awak masih hidup, padahal sudah mati. Khafilah akan jalan terus membawa bendera-bendera risalah, dan kehilangan seorang yang lemah tidaklah akan berarti sebagai kepecahan telur sebuah. Sebab, ia masih berada dalam telur dan belum pecah menetas melahirkan anak ayam.

Di sini kita tekankan salah satu bahaya yang mengendurkan perhatian akan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu cinta kepada isteri. Terutama di dalam masa muda belia, menghadapi pergaulan yang mekar, di mana cinta kasih mesra yang terjalin. Sedangkan cinta isteri kepada suami  itu kerapkali dicampuri oleh rasa mementingkan diri dari si isteri (egoisme). Kadang-kadang dengan pelukannya yang ketat, dengan senyumnya yang lembut, ataupun dengan uraian air matanya, dia dapat mematahkan siku suaminya, sehingga lemah hati si suami buat melanjutkan perjuangan. Banyak orang yang mundur berjuang karean tidak tahan melihat air mata isteri. Tetapi banyak pula “Pahlawan Gagah Berani”, mendapat kejayaan karena bantuan isteri. Misalnya Bismarck, ahli negarawan Jerman yang terkenal itu ketika satu kali ditanya orang apakah salah satu sebab dari sukses dan kejayaannya? terus terang menjawab: “Isteriku!”. Padahal isteri Bismarck tidaklah terkenal sebagai suaminya.

Oleh sebab itu cinta kepada manusia sebagai ayah, anak, saudara, isteri dan kelurga, kalau tidak diikatkan kepada erat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, akan menyebabkan orang tenggelam kepada lubuk yang kecil. Pengurbanannya tidak berarti. Sedang cinta kepada harta benda, perniagaan dan rumah kediaman, akan menyebabkan orang menjadi bakhil. Keduanya itulah yang dinamai mementingkan diri sendiri, atau egois. Petunjuk di cabut oleh Tuhan, sebab itu dia kian lama kian fasik, kian durhaka. Lantaran itu, hidupnya di dunia tidak ada artinya lagi, apalagi di akhirat, jadi alas neraka. Ia hidupnya tidak ubahnya seperti binatang ternak yang berhimpun atau berkumpul atas dasar  rumput hijau, padang gembalaan dan kawanan.

Allah SWT. berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf, 7: 179).

Dengan mempertebal iman kepada Allah, maka kasih cinta yang naluri di dalam jiwa kepada delapan perkara itu, niscaya akan berjalan dengan sewajarnya. Tuhan tidak melarang kita mencintai semuanya itu, sebab dia adalah naluri, atau berdasar dan berurat berekat di dalam jiwa manusia. Kita hanya dilarang lupa akan pangkal karena dirintangi oleh ujung. Lalai memperhatikan pemeliharaan pohon dan urang mangga karena dijadikan bimbang oleh buah mangga. Padahal kalau pohon itu rubuh, tumbang atau mati, maka buahnya tidak ada lagi.


Tuhan itu pencemburu. Dia tidak mau cinta kepadanya dibagi dengan cinta kepada yang lain. Tetapi Tuhan itupun pengasih. Kalau cinta telah dibulatkan kepada-Nya, Dia pun akan memberi izin kita menziarahi yang lain. Dan yang lain itu pada hakikatnya tidak ada, kalau bukan karena pemberian Dia.o

Tidak ada komentar:

Posting Komentar