Selasa, 10 April 2012

INDRA MANUSIA




Sesungguhnya indra manusia yang merupakan sarana untuk mengenal berbagai wujud dan hakikat yang ada disekitarnya dapat diibaratkan sebagai jendela yang menghubungkan dengan dunia luar. Berkat adanya 'jendela' tersebut, indra sanggup menjangkau serta menjalin hubungan dengan alam sekitarnya. Indra itu dinamakan "Pancaindra", [meliputi: Indra pendengaran, indra penglihatan, indra penciuman, indra perasaan, n indra perabaan].  Setiap orang mempunyai kekuatan indra yang besar. Namun demikian rangsangannya yang datang bukan dari dalam diri sendiri, tetapi dari luar. Kelima indra tersebut mempunyai kaitan dengan alam kejiwaan yang bersifat emosional, seperti perasaan benci, cinta, senang, marah, berani, takut, rasa sakit, keseimbangan dan rasa birahi.
egala sesuatu yang dapat dijangkau oleh indra-indra tersebut merupakan hakikat kekuatan indra, dan memungkinkan indra berkhayal / membayangkan sesuatu. Selanjutnya indra mengambil intisari dari kaidah-kaidah umum yang ada serta merombak dan menyusunnya kembali. Kita permisalkan, orang-orang yang tidak mempunyai 'indra penglihatan' sejak lahir, tidak akan dapat membayangkan/ mengkhayalkan dalam benaknya walau bagaimanapun cerdasnya dia, suatu warna, sekalipun kita berusaha menjelaskan kepadanya tentang warna dengan menggunakan permisalan, sebab kaum 'tunanetra belum pernah berhubungan dengan suatu hakikat yang bernama warna melalui indra penglihatan.
Demikian pula halnya dengan para 'tunarungu' sejak lahir. Mereka tidak dapat membayangkan bagaimana bentuk suara, sekalipun di dekatnya terdengar suara yang sangat keras. Kita pun tidak dapat – dengan cara apapun– untuk memberikan gambaran tentang suara kepada mereka, sebab mereka belum pernah membuka jendela pendengarannya dan mendengar suatu hakikat yang bernama suara. Dan masih banyak contoh-contoh lain. Singkatnya, jiwa manusia dapat mengenal berbagai hakikat yang ada dijagat raya ini melalui jendela yang menghubungkannya dengan alam. Tanpa adanya jendela tersebut maka manuisa tidak akan mengenal hakikat yang berada di luar jiwanya dan ia akan tetap berada dalam ketidaktahuan. Dalam hal ini, Al-Qur'an mengisyartkan suatu hakikat yang tidak dipungkiri oleh setiap jiwa yang sehat, yaitu:
"….Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebagai itu) mereka tidak mengerti.." (QS. Al-Baqarah2: 171).
"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun." (QS. Al-Anfal, 8: 22).
A.     KELEMAHAN INDRA MANUSIA
Sekitanya manusia dianugerahi oleh Allah indra tambahan selain yang telah dimilikinya, maka mereka akan dapat mengenal berbagai hal yang bersifat 'Ghaib'.
Sekarang manusia tidak dapat meraba atau merasakan hal-hal ghaib itu karena ia tidak mempunyai indra khusus untuk mengenalnya. Sesungguhnya indra manusia itu sangat lemah. Bukankah sejumlah peralatan, misalnya alat pengukut suhu udara, serta alat pengukur kekuatan dan kelambatan tiupan angin, adalah menunjukkan akan kelemahan dan kekurangan indra manusia.
Logikanya, bila kita memiliki indra dengan kemampuan yang sama dengan kemampuan peralatan tersebut maka kita akan dapat mengenal apa yang ditangkap / dirasakan oleh peralatan itu tanpa bantuan alat apa pun.
Lalu, bagaimana sekiranya manusia juga dianugerahi oleh Allah indra yang dapat menembus lapisan bumi? Tentunya ia akan mengetahui kandungan mineral di perut bumi dan adanya tambang emas, perak, atau besi yang terkandung di dalamnya. Sekiranya manusia memiliki indra dengan kemampuan seperti itu, dan bukan hanya terbatas berupa panca indra, maka sungguh manusia akan lebih peka dan lebih banyak mengenal alam sekitarnya melalui indra tersebut. Sungguh, betapa banyaknya kelemahan dan kekurangan indra manusia, kendati ia merupakan makhluk yang paling sempurna.
Coba renungkan bukankah sejumlah makhluk lain dilengkapi dengan indra yang tidak dimiliki oleh manusia.
B.      KEKUATAN INDRA MANUSIA
Sesungguhnya indra manusia yang merupakan sarana untuk mengenal berbagai wujud dan hakikat yang ada disekitarnya sangat terbatas ruang lingkupp dan jangkauannya. Menurut ilmu pengetahuan modern, berdasarkan penelitian, ruang angkasa penuh dengan sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra penglihatan manusia. Demikian pula ia penuh dengan suara-suara yang tidak terjangkau oleh indra pendengar manusia. Jika kita mengatakan dengan pasti bahwa di ruang angkasa tidak terdapat sesuatu apa pun atau suara apa pun, baik yang zhahir maupun yang tersembunyi (karena indra tidak dapat menjangkaunya), itu berarti kita mendustakan kenyataan, dan anggapan itu tidak dapat diterima oleh akal sehat, sebab peralatan mutakhir mampu mengungkapkan sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra pendengaran maupun indra penglihatan. Temuan-temuan terakhir manusia merupakan bukti yang jelas menunjukkan kebodohdan manusia. Bagaimana tidak? Kita dengan pasti mengatakan bahwa di ruang angkasa tidak ada sesuatu apa puh dan tidak ada suara apa pun, padahal kita mengetahui bahwa setiap hari ribuan penelitian membuktikan keterbatasan ruang lingkup jangkauan indra manusia. Merupakan suatu fakta bahwa jika suatu suara makin menjauh dari jangkauan indra pendengaran maka indra pendengaran manusia semakin tidak mampu menangkapnya. Demikain pula halnya dengan indra penglihatan, semakin jauh posisi suatu benda / objek dari jangkauan indra penglighatan maka indra tersebut semakin tidak mampu menangkapnya.
Sementara itu, indra 'perasa' mempunyai persyaratan khusus yang berbeda dengan indra yang lain. Indra ini hanya dapat mendapatkan keberadaan sesuatu melalui sentuhan secara langsung, seperti mengenal rasa panas, dan rasa dingin.
Adapun tentang bagaimana setiap indra manusia mempunyai persyaratan khusus untuk mengenal sesuatu disekitarnya. Misal indra penglihatan membutuhkan cahaya untuk melihat sesuatu. Jika tidak ada cahaya suasa menjadi gelap sehingga indra penglihatan tidak mungkin melihat sesuatu. Demikian pula dengan sesuatu yang berukuran kecil hanya dapat dilihat dengan alat pembesar dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhannya.
Selain contoh diatas, masih banyak lagi hal yang mengharuskan kita mempecayai sesuatu sekali pun kita tidak dapat merabanya secara langsung. Kita dapat mempercayai adanya sesuatu itu dengan cara menarik kesimpulan. Misalnya, ketika berada di kamar, terdengar ketukan dipintu. Pada saat itu juga Anda berkesimpulan bahwa ada seseorang yang mengetuk pintu kamar Anda, sekalipun Anda tidak dapat melihat orangnya, sebab Anda merasa yakin bahwa dari pintu itu tidak mungkin timbul suara dengan sendirinya.
Suatu hal yang harus kita garis bawahi dalam masalah ini adalah pernyataan yang dungu yang terpengaruh paham atheis bahwa mereka tidak mengimani sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra. Mereka beranggapan bahwa indra manusia pasti dapat menjangkau segala sesuatu disekitar kita. Terhadap pandangan seperti ini kita dapat menjawab dengan singkat sebagai berikut: setiap hari dunia ilmu pengetahuan hal baru  disekitar kita, bahkan tidak sedikit yang berada dalam jiwa kita namun sepanjang sejarahnya, belum pernah manusia membayangkan atau merasakan hal baru.
Dalam hal ini ada kisah menarik tentang jawaban seorang anak yang cerdik – yang muncul secaya spontan dari kemurnian fitrahnya– terhadap orang dungu dari kalangan atheis, orang dungu itu mengatakan bahwa ia tidak mempercayai keberadaan sesuatu yang tidak berwujud atau tidak terjangkau oleh panca indra (sehingga pada akhirnya mereka mengingkari adanya Tuhan karena merka tidak dapat melihatnya). Anak yang cerdik dan masih murni itu berkata: "Wahai orang pandai, kami semua yang hadir disini belum pernah melihat bentuk dan rupa akal pikiranmu yang sangat briliyand, jika demikain, maka berarti engkau tidak mempunyai akal pikiran."
C.     KHAYALAN DAN BATAS-BATASNYA
Ada bagian dalam benak kita yang mampu membayangkan sesuatu yang tidak berwujud. Namun demikian, betapa pun berusaha membayangkan sesuatu, kita tidak akan mampun melakukan kecuali dengan cara memadukan bagian-bagian yang wujud dan telah kita kenal melalui indra di alam raya ini. Dengan demikian, khayalan di dalam benak kita terbatas dengan menggabung- gabungkan atau memadukan bagian-bagian dari alam sehingga seolah-olah merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu, para penyair, budayawan, dan pengarang cerita fiktif tidak mampun mengkhayalkan sesuatu kecuali sebatas hal-hal yang merupakan bagian dari alam yang pernah mereka jangkau dengan indra.
Banyak sekali contoh tentang hal ini. Misalnya, seseorang membayangkan adanya sesuatu hewan aneh yang memiliki dua puluh sayap. Sayap bagian kanan ada yang wangi oromanya bagaikan minyak wangi ini atau itu. Sedangkan sayap disebelah kiri terdapat semacam kantong untuk menyimpang kantong makanan. Ia membayangkan keberadaan hewan seperti ini berdasarkan gambaran tentang sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indra manusia.
Intinya, khayalan atau gambaran kita bagaimanapun tinggi dan melambung, tidak akan melebihi hakikat yang terjangkau oleh panca indra manusia. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa mustahil bagi kita membayangkan kehidupan akhir, karena kita belum pernah menjangkau dan mengenalinya baik situasi dan kondisinya. Demikian pula mustahil bagi kita membayangkan bagaimana penciptaan Malaikat, jin dan makhlul-makhluk lainnya yang jauh dari jangkauan indra manusia. Dan mustahil pula bisa membayangkan bentuk dan rupa dari makhluk-makhluk ghaib itu secara pasti, selain menduga-duga sesuai gambaran khayalan yang pernah ada. Karenanya pengarang cerita-cerita fiktif selalu berlainan di dalam menggambarkan sesuatu yang ghaib, seperti cara mereka membayangkan malaikat atau jin misalnya, ada yang menggambarkan bahwa malaikat itu adalah  seorang perempuan cantik dan bersayap serta mengenakan pakaian putih-putih. Ada yang menggambarkan bahwa Malikait itu dikepalanya ada semacam lingkaran cincin yang selalu menyertainya kemana ia pergi dan selalu membawa tongkat. Tapi secara garis besar mereka adalah makhluk yang baik dan suka menolong. Demikian pula cara mereka menggambarkan sesosok bentuk jin atau setan pada setiap manusia adalah berlainan. Tergantung pada gambaran umum yang ditempatnya masing-masing. Misalnya, di Barat lebih terkenal dengan 'Vampire' atau 'Dracula'. Mereka menggambarkan bahwa 'Vampire atau Dracula itu adalah sesosok makhluk setan yang bertaring tajam dengan baju berjubah panjang dibelakangnya. Ia selalu mencari mangsanya dari jenis manusia untuk dihisap darahnya melalui leher korbannya. Karena dengan cara demikianlah ia mempertahankan hidupnya. Tapi Vampire atau Dracula tidak begitu dikenal di daerah wilayah timur, misalnya di tempat kita sendiri di Indonesia. Di sini lebih dikenal dengan jenis setan 'Pocongan' atau sejenis lainnya, karenanya cara menggambarkannya bentuk-bentuk setan pun berbeda-beda, tergantung informasi yang di dapat, kemudian menggabung- gabungkan atau memadukan bagian dari informasi yang pernah di dapat oleh pengalaman panca indranya, sehigga seolah-olah merupakan suatu kesatuan. Ia mengkhayalkan keberadaan setan seperti ini berdasarkan gambaran tentang sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indra manusia, sedangkan fakta yang sesunggunya tidaklah demikian. Padahal di dalam kitab Suci Al'Qur'an telah jelas-jelas ditegaskan bahwa manusia itu tidak bisa melihat setan. Allah swt. Berfirman:
"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al-A'raf, 7: 27).
Dalam sebuah hadits shahih dari Imam Muslim telah diriwayatkan: "Bersumber dari Abu Salamah bin Abdurrahman dan lainnya, sesungguhnya Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw. Pernah bersabda: "Tidak ada istilah menular, tidak ada yang namanya tanda (firasat) kesialan, tidak benar cacing perut itu mendatangkan bencana dan tidak benar roh-roh yang sudah mati itu bisa menjelma." (Hadits Riwayat Muslim Juz IV hadits no. 102 hal. 70.)
Lihat makalah pengertian Jin, Iblis, dan syetan.
D.    AKAL PIKIRAN DAN BATAS-BATASNYA
Akal pikiran manusia terbatas penggunaannya pada alam yang dapat diraba oleh indra. Akal pikiran tidak mampu melihat alam ghaib (metafisika) karena kekuatan berpikir kita hanya mampu menyatukan suatu gambaran, ingatan dan khayalan. Kecerdasan  manusia mampu menganalisa sesuatu, membuat komposisi, menyatukan, membagi-bagi, mengambil intisari berupa kaidah-kaidah umum dan melakukan qiyas. Setelah mengumpulkan hasil pengamatan terhadap alam sekitar, maka berbagai macam indra dapat menentukan sesuatu (yang terbatas) sesuai dengan jangkauan masing-masing. Oleh karena itu, alam yang dapat diraba dengan indra berbeda dengan alam gaib. Tidak mungkin menetapkan keduanya sebagai hal yang sama, karena indra manusia belum pernah mendapatkan pengetahuan dengan cara menjangkau hal-hal yang ghaib.
Akal manusia tidak dapat menetapkan sesuatu yang ghaib [baik berupa pernyataan menerima ataupun menolak] dengan sekehendak hati. Kita baru dapat menerima atau menolak sesuatu yang bersifat ghaib setelah adanya berita yang dapat diterima oleh akal yang menyatakan bahwa itu benar, seperti dikisahkan di dalam Kitab Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (2/400). Dikatakan: "Sungguh aku benar-benar melihat surga dan neraka." Ia ditanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Jawabnya, "Aku melihat keduanya dengan kedua mata Rasulullah saw. Penglihatanku kepada surga dan neraka dengan kedua mata Rasulullah saw. lebih berpengaruh menurutku dan lebih aku percayai ketimbang penglihatanku dengan kedua mataku. Karena kedua mataku bisa saja sesat sedang pandangan Rasulullah saw, tidak!."
"Berita" yang disebutkan barusan di atas itu yang disebut 'Basyir" (Berita-berita yang dibawa oleh para rasul Allah adalah dapat dipercaya).
Semisal ada seseorang yang mengatakan bahwa ia percaya bahwa disuatu belahan bumi ada suatu negeri yang bernama negeri 'China'. Lantas bila dikatakan, Bagaimana itu bisa terjadi? Padahal Anda belum pernah kesana? Maka dijawabnya, Aku mengetahuinya dari berita-berita yang ada di TV, atau koran-koran. Bagi orang yang belum pernah pergi ke negeri China tersebut, maka hal itu adalah ghaib baginya. Tapi ia dapat mempercayai karena adanya berira-berita yang ada di media masa tentang negeri tersebut.
Mengingat kenyataan bahwa alam rabaan manusia itu terbatas, maka akal pikiran manusia juga terbatas atas dua hal:
Pertama, Terbatas oleh dua hal, yaitu oleh faktor waktu dan faktor tempat. Oleh karena itu, akal pikiran manusia senantiasa bertanya denan: 'kapan' dan 'dimana'. Sebab segalah sesuatu yang terjangkau dan dapat dirasakan oleh indra kita berada di suatu tempat tertentu dan berada pada suatu waktu tertentu (Ttentunya hal ini tidak mencakup Dzat Allah yang tidak terbatas oleh adanya waktu dan tempat, karena Dia-lah yang menciptakan waktu dan tempat itu sendiri]
Kedua, terbatas ketika menyatakan ketidakmampuannya memastikan salah satu dari dua kemungkinan mengenai sesuatu di jagat raya ini. Misalnya, seorang bertanya: "Alam raya ini terbatas atau tidak?" Sedangkan jika  ia menjawab bahwa alam semesta ini tidak terbatas, maka ia akan bertanya lagi, "Bagaimana mungkin sesuatu itu tidak terbatas." Demikian seterusnya. Hal ini mengharuskan dirinya menimbang-nimbang salah satu dari dua kemungkinan (tidak ada yang ketiga), sedangkan ia tiak mau atau tidak pasrah menerima salah satu dari dua kemungkinan itu. Yang demikian itu menunjukkan bahwa akal pikiran manusia sangat terbatas.  Jika akal pikiran manusia itu sangat terbatas dalam hal mengenai segala sesuatu yang ada di jagat raya ini, dan tidak mampu mengenal haikikatnya, maka sudah tentu ia lebih tidak mampu mengenal hakikat yang bersifat ghaib (metafisika). Dalam hal ini, Imam Syafi'i  berkata, "Janganlah merasa sesuatu itu tidak mungkin, wahai orang yang menekuni dunia logika. Suatu [batasan] akan muncul, yang tidak terjangkau oleh akal atau terbersit dalam pikiran."
Bukankah (bagi Kelelawar) adanya cahaya matahari disiang hari akan membuat matanya tidak melihat, justru dalam kegelapan malamlah ia dapat melihat."  Demikian pula manusia, bila matanya dapat melihat sesuatu, hal itu bukan disebabkan karena peran semata dari matanya,  tapi karena disana 'cahaya' yang membuat mata itu dapat berfungsi.
"Matahari' adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang mempunyai indra penglihatan sangat kuat, tajam, dan sangat luas cakupannya, Adalah bila sesuatu itu  'materi' , maka ia akan terlihat ketika cahaya matahari menyorotinya yang akan menimbulkan bayang-bayang diseketiranya. Sedangkan segala sesuatu yang 'inmateri' (ghaib) tidaklah akan terlihat tatkala cahaya matahari melihatnya, karenanya ia tidak akan mempunyai bayang-bayang.
“Hanya kepada Allah lah sujud (patuh) segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa”. (Dan sujud pula) bayang-bayang di waktu pagi dan petang hari.” (QS.13 Ar-Ra’ad :15).
 Manusia adalah salah satu makhluk materi yang dapat terlihat oleh tatapan cahaya matahari, karenanya ia mempunyai bayang-bayangan. Sedangkan Jin, setan dan sejenisnya adalah makhluk 'inmateri (ghaib) yang tidak dapat dilihat oleh matahari, karena ia tidak mempunyai bayang-bayangan. Pernahkan kita melihat atau mendengar bahwa jin, setan itu mempunyai bayang-bayang? Tentu tidak. Hal ini adalah bukti bahwa mereka adalah makhluk 'inmateri' yakni, sesuatu yang tidak terlihat.  Bila penglihatan 'matahari' saja tidak dapat melihat mereka (jin, setan dan sejenisnya). Maka bagaimana mungkin mata manusia yang kecil, lemah dan serba terbatas, lantas dia mengaku bisa melihatnya?  Pahadal Allah swt, telah berfirman,
Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. (QS. Al-A'raf, 7: 27).
Akhirnya dari permasalah yang kita bahas tadi, dapat kita simpulkan beberapa hal sebagai berikut,
§ Indra manusia yang merupakan sarana untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan bersifat terbatas, tidak dapat menjangkau segala sesuatu yang wujud,
§ Kemampuan kita untuk mengkhayalkan sesuatu sejauh manapun kita membayangkan bersifat terbatas, yaitu sesuai dengan apa yang dapat dijangkau oleh indra manusia.
§ Akal pikiran manusia sangat terbatas dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu yang ada di jagat raya ini dengan pengetahuan yang pasti.
A.    ALAM NYATA DAN ALAM GHAIB.
1. Hakikat Alam Ghaib
Segala sesuatu yang dapat dikenal oleh indra manusia dan dapat berhubungan dengannya disebut 'materi'. Kita dapat meraba keberadaannya melalui indra dan tidak ada yang meragukannya, kecuali para 'tunanetra'. Disamping itu, di jagat raya ini banyak terdapat hal ghaib yang tidak terjangkau oleh panca indra, namun keberadaannya sangat meyakinkan sehingga kita harus mengimaninya (mempercayainya). Kenyataan yang demikian itu kita namakan 'sesuatu' atau 'alam ghaib'.
Contohnya adalah keberadaan 'roh' di jasad kita. Sekalipun mata kita tidak pernah melihatnya, telinga kita tidak pernah mendengarnya, dan indra perasa kita tidak pernah merasakannya, kita meyakini keberadaannya. Kita meyakininya keberadaannya melalui buktu pada jiwa kita. Bukankan perbedaan antara orang yang hidup dan jasad yang sudah mati membuktikan akan keberadaan 'roh'. Ini merupakan suatu aksioma' (aksioma adalah kenyataan yang diterima sebagai kebenaran dengan tidak perlu dibuktikan atau diterangkan lagi).
Di jagat raya terdapat sangat banyak kekuatan yang kita kenal hanya dengan melihat tandanya. Misalnya, ada dua batang besi yang sama warna, berat, besar dan bentuknya. Besi pertama dilapisi magnet, sedang besi kedua tidak. Jika kita hanya menggunakan pancaindra, kita tidak dapat menentukan, maka besi yang dilapisi magnet dan mana besi yang tidak dilapisi magnet, sebab indra kita tidak mampu membedakannya. Ketika kita melihat besi pertama dapat menarik besi lainnya, sedangkan besi kedua tidak dapat melakukan hal yang sama, maka melalui pembuktian akal itu kita menyatakan adanya kekuatan ekstra pada besi pertama. Demikian pula dengan masalah lain.
Masalah roh yang terdapat dalam jasad kita merupakan langkah pertama dalam mengenal alam ghaib. Sebab, roh ini dekat dengan jasad kita, tetapi akal kita tidak dapat menjangkaunya. Tapi kita bisa membedakan antara orang yang memiliki roh dan yang tidak memilikinya. (orang mati). Hal ini menunjukkan bukti bahwa berdalil dengan menggunakan akal atau fitrah dapat menunjukkan sesuatu yang ghaib yang jauh dari jangkauan indra kita. Namun, kita tidak dapat menjelaskan dan menggambarkan yang ghaib itu secara pasti. Demikian pula terdapat jutaan kemungkinan yang dapat digambarkan oleh akal kita, namun kita tidak dapat menentukan dengan pasti karena tidak ada dalil penguat. Dalam hubungan ini, kita tidak boleng mengqiyas (berdasarkan logika) tentang alam ghaib dengan alam nyata (yang terjangkau oleh akal kita). Sebab mungkin saja terdapat perbedaan dalam hal bentuk, sifat-sifat khusus, dan unsur-unsur di antara keduanya. Lebih daripada itu, kita belum pernah mengadakan kontak dengan alam ghaib dengan menggunakan pancaindra kita.
Jika kita (secara aksioma dan berdasarkan dalil) mempercayai akan keberadaan roh dalam jasad kita, maka kita pun dapat juga secara aksioma dan berdasarkan dalil bahwa adanya alam semesta beserta keaneka-rahaman makhluk didalamnya membuktikan bahwa ada yang menciptanya, yakni Allah swt. Sebagaimana kita tidak dapat menggambarkan apa dan bagaimana roh tersebut (sebagai salah satu bentuk ghaib yang terdekat dengan kita), maka sangat mustahil bila kita menggambarkan apa dan bagaimana Dzat Allah Yang Khalik dan Mahaagung itu. Bagaimana dapat dibenarkan manusia mengetahui tentang Dzat-Nya, sedangkan kita ketahui bahwa Allah swt mengetahui segala sesuatu di jagat raya ini, sedangkan manusia tidak. Bagaimana mungkin manusia ingin menggambarkan apa dan bagaimana Dzat Allah Yang Khalik dan Mahaagung itu. 'Subhanallahu'
Padahal Dzat Allah swt, itu lebih agung daripada yang dicakup oleh 'akal' manusia, atau dijangkau oleh 'pikiran' manusia. Sebab, akal dan pikiran itu sekalipun bisa mencapai ketinggian jangkauan, kekuatannya itu terbatas dan kemampuannya terbatas pula. Bukankah akal kita tidak mampu mengetahui mengetahui hakikat dari akal itu sendiri? Sedangkan matahari tidak mengetahui dirinya sendiri, kenapa ia bisa menyala? Maka, manusia pasti lebih gagal lagi dalam mencapai Dzat Allah swt.. (pahadal kita mengetahui bahwa sampai saat ini akal kita bagaimana pun hebatnya, tidaklah ia mengetahui akan hakikat alam yang ada disekitarnya, selain hanya bisa mengambil manfaat terhadap benda-benda disekitarnya, seperti listrik, magnet), demikian pula dengan segala macam tumbuh-tumbuhan, hewan ternak  dan sebagainya. Adakah kita mengetahui hakikat dibalik hewan ternak yang mengeluarkan antara susu dan kotoran, padahal ia keluar dari tubuh yang satu. Demikian pula dengan keaneka-ragaman tumbuh-tumbuhan, buah-buahnya, serta perbedaan rasanya, padahal ia tumbuh ditanah yang satu dan sama. Adakah kita mengetahui akan hakikatnya.
Dapatkah bakteri yang telah masuk dalam tubuh manusia, kemudian ia kesana-kemari dalam tubuh itu sejak kepala sampai dengan telapak kaki, sampai dengan kedua ujung jari, sampai dengan bagian-bagian badan lainnya, apakah ia mampu setelah berputar-putar itu menyifati jasad atau mengetahui hakikatnya?
WAHYU SEBAGAI SARANA PENGENAL GAIB
Seperti telah kita singgung dalam pembahasan di atas, sekalipun bebas merdeka, akal pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengenal dan menyelami hal-hal yang bersifat ghaib. Alam ghaib juga tidak berhubungan dengan manusia melalui indra manusia. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa akal pikiran manusia bagaimana luluasa dan merdekat, tetap tidak akan mengenal hal yang ghaib bbarang sedikit pun. Oleh karena itu, segala pengetahuan yang berada di luar jangkauan akal pikiran manusia hanya dapat dicapai 'melalui jalur' yang merupakan bagian dari dari alam ghaib atau yang berhubungan degnan alam ghaib. Dalam hubungan ini akan kita bahas kepastian kebenaran pembawa berita  tentang alam ghaib setelah ia berhubungan dengan alam ghaib tersebut.
Kita ketahui bahwa para Nabi dan Rasul adalah sosok manusia yang dapat dipercaya, dan segala apa yang mereka bawa kepada kita tidak diragukan lagi. Kita ketahui pula mereka dipilih oleh Allah swt untuk menjadi utusan-Nya kepada umat manusia, karena hati dan jiwanya bersih. Melaui wahyu, mereka mendapatkan pengetahuan tentang berbagai hal-hal ghaib secara meyakinkan, gamblang dan jelas. Kemudian mereka (para Nabi dan Rasul) menyampaikan kepada umat manusia apa yang mereka terima melalui wahyu itu. Tinggalah kita, setelah mengetahui dengan pasti bahwa para Nabi dan Rasul itu benar dan dapat dipercaya [karena di dukung oleh berbagai mu'jizat dengan seizin Allah] mengimani mereka dengan sepenuhnya tanpa keraguan.
Setelah kita mengimani secara mantap kebenaran para Nabi dan Rasul-Nya serta wahyu yang dibawanya, maka menurut logika wajib bagi kita membatasi nash (wahyu) yang mereka bawa, tanpa menambahinya dengan gambaran dan khayalan. Mereka juga tidak melakukan ta'wil secara berlebihan kecuali setelah wahyu memberitakan kepada kita hal yang dapat diterima akal sehat, misalnya melalui penelitian ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Pada dasarnya, setiap penambahan atau takwil yang berlebihan terhadap nash (wahyu) merupakan langkah menetapkan perkara gaib secara batil. Tindakan ini tidak bersandar pada kenyataan yang dapat diraba oleh indra atau bersandar pada hasil pengamatan dan pemikiran akal yang logis, atau bersandar pada nash yang dibawa para rasul melalui wahyu.
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Sesungguhnya akal pikiran manusia sesuai dengan instingnya tidak leluasa untuk menjangkau alam gaib, termasuk masalah wahyu.
2.      Wajib bagi kita membatasi perkara-perkara yang gaib sebatas nash yang diwahyukan.
PERKARA GAIB YANG MENJADI PERKARA NYATA
Perkara yang pada masa dahulu dianggap gaib, dapat berubah statusnya melalui penelitian ilmiah dan temuan ilmu pengetahuan modern. Dengan kata lain, suatu perkara gaib beralih menjadi perkara nyata. Misalnya, seandainya manusia melalui penelitian ilmiah mampu menjangkau alam falak (bintang dengan berbagai ragamnya di angkasa), maka perkara perbintangan di angkasa menjadi perkara yang nyata, bukan perkara gaib yang tidak terjangkau oleh indra. Demikian pula jika halnya manusia mengetahui sebab-sebab alami lainnya, seperti mengetahui saat akan turun hujan, mengetahui posisi janin di dalam rahim  melalui sinar laser, ronten, atau alat-alat lain. Semua membuat hal yantg dahulu gaib menjadi nyata, yang memungkinkan kita membicarakan hal wujud di jagat raya, yang dapat dikenal melalui pancaindra. Di zaman sekarang, memang para ahli dokter telah mengetahui letak janin bayi di dalam kandungan, bahkan ada yang mendeteksi ke arah penentuan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Hal ini bisa diketahui setelah si janin sudah ada di dalam perut ibunya. Sedangkan sebelum ibu mengandung, masalah itu masih gaib, apakah si ibu mempunyai anak atau tidak, jenisnya laki atau perempuan. Tapi setelah si ibu mengandung dan diadakan penelitian ilmiah dan analisa-analisa kemungkinan, diperkirakanlah akan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Tapi kemudian yang menjadi gaib lagi bagi si bayi adalah mengenai bagaimanakah rezekinya ?, bagaimana nasib baik dan buruknya?. Maka semua itu adalah masalah gaib bagi manusia, kecuali hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Maha Benar Firman Allah yang tertulis di lauh Mahfuzh :
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Al-An'am 6:59).
PEMBAGIAN ALAM MENURUT ALQURAN
Al-Qur'an Karim membagi alam menjadi dua, yaitu alam ghaib dan alam nyata. Ayat-ayat Al-Qur'an mengisyaratkan hal ini:
"Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS, Al-Hasyr, 59: 22).
"Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya dan ukuran-Nya. Yang mengetahui semua gaib dan yang tampak. Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari." (QS. Ar-Rad, 13: 8-10).
Pengertian kata 'gaib' secara umum adalah yang tidak terjangkau oleh indra manusia. Sedangkan kata 'syahadah' (nyata) adalah segala perkara yang terjangkau oleh manusia dengan menggunakan indra.
Dalam firman Allah swt, tersebut, hal yang gaib di dahulukan daripada hal yang nyata. Hikmahnya adalah karena perkara yang gaib itu tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Berbeda dengan alam nyata, yang memungkinkan kita menyaksikan dan mengenalnya dengan menggunakan indra. Firman-Nya,
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: 'Roh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS. Al-Isra', 17: 85).
PERKARA GAIB ADALAH MONOPOLI ALLAH SWT.
Hal-hal yang bersifat ghaib tidak bisa diraba dan dijangkau oleh indra manusia. Ini merupakan kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah swt. Semeua tidak diberitahukan kepada siapapun dari makhluk-makhluk-Nya, baik di bumi maupun di langit. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt, dalam firman-Nya,
"Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan." (QS. An-Naml, 27: 65).
Telah disinggung bahwa alam bagi makhluk terbagi menjadi dua, alam gaib dan alam nyata. Adapun alam gaib terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
§ Bagian yang mungkin berubah menjadi alam nyata. Seandainya makhluk-makhluk di jagat raya (manusia) dapat memenuhi persyaratan ini, ini merupakan bagian besar alam nyata.
§ Bagian yang tidak mungkin berubah menjadi alam nyata karena merupakan bagian yang hanya diketahui oleh Allah swt, semata.
Pada sisi lain, ada bagian yang bagi manusia atau makhluk lainnya merupakan alam gaib, sedangkan bagi makhluk alllah yang lain, seperti jin dan malaikat, merupakan alam nyata. Demikian pula bagi manusia, jin dan malaikat adalah makhluk gaib, tapi tidak untuk mereka. Dan demikian pula bagi jin, kematian Nabi Sulaiman as, adalah hal-hal yang gaib (tidak diketahui). Mereka (kelomok jin) tidak mengetahui ketika raja yang menguasainya telah meninggal. Karena ia tetap bekerja dibawah kekuasaan jenazah Nabi Sulaiman. Barulah kemudian setelah rajanya itu jatuh dari kursi kerajaan dan di dapai telah meninggal, barulah mereka mengetahui (tidak gaib), bahwa Nabi Sulaiman telah meninggal. Demikian pula bagi jin, malaika itu bagi mereka adalah ghaib, tetapi tidak untuk sesama malaikat. Waktu Nabi Muhammad saw Isra' Mi'raj, mereka (para malaikat) belum mengetahui (gaib) bila Nabi Muhammad saw, yang ditunggu-tunggu kedatangannya telah lahir di dunia. Mereka para malaikat saat itu bertanya kepada Malaikat Jibril yang membawa Nabi Muhammad saw, dari langit perlangit. Pada setiap tingkatan langit yang dilewatinya, masing-masing para malaikat penghuni dari langit satu sampai tujuh bertanya kepada Malaikat Jibril yang membawa, "Apakah Nabi yang dijanjikan itu telah datang? Barulah setelah mereka menyaksikan kedatangannya, maka hal itu tidak ghaib lagi.
Demikian pula, bagi malaikat yang menghuni dari langit satu sampai langit tujuh, bagi mereka antara yang satu dengan yang lainnya adalah ghaib. Barulah kemudian kelak, bila 'Hari Kiamat'  telah datang, dan mereka saling berkumpul satu sama lainnya. Maka hal itu tidak menjadi gaib lagi. Demikian seterusnya.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan dan bahwa alam secara keseluruhan di bagi menjadi dua:
§ Alam nyata (alam dunia)
§ Alam Gaib (akhirat)
Pada alam nyata (alam dunia), gaib terbagi menjadi dua: Gaib pada masa lalu dan gaib pada masa yang akan datang. Bagi kita yang hidup di zaman sekarang, para Nabi-nabi terdahulu adalah sesuatu yang gaib. Kita tidak mengalami kebersamaannya hidup  dengan mereka. Tetapi melalui jejak-jejak tapak yang merek tinggalkan, maka diketahuilah bahwa mereka pernah ada.  Kemudian, adalah alam gaib (alam akhirat), dimana manusia tidak akan mengetahuinya atau bisa memasuki kecuali dengan persyaratan-persyaratan khusus. Misalnya kematian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar