Selasa, 10 April 2012

ISTI'ADZAH




“Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS. An-Nahl, 16: 98-100).

MENGOBATI PENYAKIT HATI DARI SYETAN
O
rang yang merenungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentu akan mendapatkan bahwa penyebutan keduanya terhadap masalah syetan, tipu daya dan untuk memeranginya lebih banyak daripada penyebutannya kepada masalah nafsu. Seperti penyebutan an-nafsul-amarah bis-su’ (yang buruk dan jahat) dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf, 12: 53).
An-nafsul-lawwanah (yang suka mencela, menyesali dirinya sendiri) disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS. Al-Qiyamah, 75: 2).
Demikian juga nafsu madzmumah disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’. (QS. An-Nazi’at, 79: 40).
Adapu masalah syetan disebutkan dalam banyak tempat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Peringatan Tuhan kepada hamba-Nya dari godaan syetan dan tipu daya syetan lebih banyak daripada perngatan-Nya dari nafsu, dan itulah kelaziman yang sebenarnya. Sebab kejahatan dan rusaknya nfsu adalah karena godaannya. Maka godaan syetan itulah yang menjadi poros dan sumber kejahatan atau ketaatannya.
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar berlindung dari syetan saat membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan ini adalah karena betapa sangat diperlukannya berlindung diri dari syetan. Sebaliknya, Allah tidak memerintahkan, meski dalam satu ayat, agar kita berlindung dari nafsu. Berlindung dari kejahatan nafsu hanya kita dapatkan dalam Khuthbatul Hajah dalam sabda Nabi saw.
“Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kami dan dari keburukan-keburukan perbuatan kami”.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun isti’adzah (permohonan perlindungan) dari kedua hal tersebut (syetan dan nafsu) dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra. Bahwasannya Abu Bakar Ash-Shidiq ra. berkata, “Wahai Rasulullah!, ajarilah sesuatu yang harus kukatakan jika aku berada pada pagi dan petang hari”,  Beliau saw. menjawab, ‘Katakanlah:
“Ya Allah Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang  nyata,  Pencipta segenap langit dan bumi, Tuhan dan pemilik sesuatu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berak disembah kecuali Engkau, aku berlindung kepada-u dari kejahatan nafsuku dan dari kejahatan syetan serta sekutunya, (aku berlindung kepada-Mu) dari melakukan kejahatan terhadap nafsuku atau aku lakukannya kepada seorang Muslim.” (Riwayat At-Tirmidzi dan ia men-shahih-kannya, Abu Daud, Ad-Darimi dengan sanad shahih).
Hadits ini mengandung istiadzah dari semua kejahatan,, sebab-sebab serta tujuannya. Dan bahwa semua kejahatan itu tak akan keluar dari nafsu dan syetan. Adapun tujuannya, ia bisa kembali kepada yang melakukannya atau kepada saudaranya sesama Muslim. Jadi hadits di atas menjelaskan dua sumber kejahatan yang dari keduanya semua kejahatan berasal dan menjelaskan dua macam tujuan kejahatan.
BERLINDUNG KEPADA ALLAH DARI SYETAN
“Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS. An-Nahl, 16: 98-100).
M
emohon perlindungan kepada Allah maknanya meminta penjagaan-Nya serta bersandar dan mempercayakan kepada-Nya. Allah SWT. memerintahkan agar kita memohon perlindungan kepada-Nya dari syetan saat membaca Al-Qur’an karena bebarapa hal:
●Pertama, Al-Qur’an adalah obat bagi ap ayang ada di dalam dada. Ia menghilangkan apa yang dilemparkan syetan ke dalamnya, berupa bisikan, syahwat dan keinginan-keinginan yang rusak. Maka Al-Qur’an adalah penawar bagi apa yang diperntahkan syetan di dalamnya. Karena itu ia diperntahkan mengusir hal tersebut dan agar mengosongkan hati daripadanya, lalu obat itu mengisi tempat yang masih kosong sehingga teguh dan meresap, seperti yang diungkapkan penyair:
“Cintanya datang sebelum aku mengenalnya, cinta itu menemukan hati yang kosong sehingga ia meresap teguh”.
Sehingga obat tersebut datang pada hati yang kosong dari hal-hal yang berlawanan dengannya maka ia pun menjadi menang.
●Kedua Para Malaikat dekat dengan par apembaca Al-Qur’an dan mendengarkan bacaan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Usaid bin Hudhair saat ia membaca Al-Qur’an, tiba-tiba ia melihat sesuatu seperti kemah yang di dalamnya terdapat lampu-lampu. (Mendengar hal tersebut) Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah malaikat”. (Diriwayatkan Muslim dari Abu Sa’id, dan  Al-Bukhari memberkan ta’liq padanya).
●Ketiga, Syetan memperdaya pembaca Al-Qur’an dengan berbagai tipu dayanya sehingga membuatnya lupa dari maksud Al-Qur’an, yakni merenungkan, memahami dan mengetahui apa yang dikehendaki oleh yang berfirman, Allah SWT.
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf, 7: 2004).
Syetan berusaha keras menghalangi antara hati pembacanya dengan maksud Al-Qur’an, sehingga tidak sempurnalah pemanfaatan pembacanya terhadap Al-Qur’an, karena itu ketika hendak membaca, disyariatkan agar ia memohon perlindungan kepada Allah SWT.
●Keempat, Pembaca Al-Qur’an berdialog dengan Allah SWT dengan firman-Nya. Diriwayatkan Al-Bukhari, Mulsim dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Tidaklah Allah mengizinkan sesuatu sebagaimana Allah mengizinkan kepada Nabi-Nya untuk berlagu denga Al-Qur’an.” (Sedangkan syetan bacaannya adalah syair dan lagu. Karena itu pembaca diperintahkan agar mengusir syetan denagn memohon perlindungan saat bercengkrama dengan Allah. dan ketika Allah mendengarkan bacaannya.
●Kelima, Allah SWT. mengabarkan bahwasannya tidaklah Dia mengutus seorang Rasul atau nabi pun kecuali jika ia mempunyai suaut keinginan, syetan memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan-keingianan itu. Para salaf sependapat bahwa maknanya, jika ia membaca Al-Qur’an maka syetan menggoada sepanjang bacaannya.  Jika demikian itu yang mereka lakukan terhadap para rasul Alahis-Salam, maka bagaimana pula dengan orang-orang selain mereka? Allah SWT. berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat. dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj, 22: 52-54).
Karena itu syetan membuat salah pembaca Al-Qur’an, merancukannya dan menggodanya sehingga lisannya keliru membaca atau mengusik akal dan hatinya. Maka jika ia membaca terjadilah bahwa dirinya meninggalkan ayat ini dan itu, atau mungkin memcampuradukkannya. Karena itulah, sesuatu yang terpenting adalah memohon perlindungan kepada Allah SWT. dari syetan.
●Kenam, Syetan sangat bersungguh-sungguh sekali dalam menggoda manusia saat ia berkeinginan melakukan kebaikan, atau ketika berada di dalamnya, syetan berusaha keras agar hamba tersebut tidak melanjutkan perbuatan baiknya. Dalam shahihan disebutkan dari Nabi saw. “Bahwasannya syetan meloncat di atasku tadi malam. Ia ingin agar aku berhenti dari shalatku…..”
Karena itu, semakin baik dan bermanfaat suatu perbuatan dan semakin dicintai Allah SWT. maka syetan semakin besar penentangannya pdanya. Dalam Musnad Imam Ahmad, dari hadits Sabrah bin Abil Fakih, bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
 
“Sesungguhnya syetan menghadang anak Adam dengan berbagai jalan. Ia menghadangnya dengan jalan Islam, sehingga ia berkata, ‘Apakah engkau masuk Islam dan meninggalkan agamamu serta agama bapak dan nenek-moyangmu?’ Lalu anak Adam itu menolaknya sehingga ia masuk Islam. Selanjutnya syetan menghadangnya dengan jalan hijrah seraya berkata, ‘Apakah engkau akan hijrah dan meninggalkan tanah air dan langitmu?’ Sesungguhnya perumpamaan orang yang hijrah adalah seperti kuda sepanjang masa.’ Kemudian anak Adam itu menolaknya dan berhijrah. Llau syetan menghadangnya (lagi) dengan jalan jihad, dan itu adalah jihad dengan jiwa dan harta. Syetan berkata, ‘Engkau berperang dan engkau akan terbunuh, selanjutnya istrimu dinikahi (orang lain) dan harta (mu) dibagi-bagi?’ Beliau bersabda, ‘Ia pun menolaknya dan pergi berjihad.”
Maka syetan senantiasa mengintai manusia pada setiap jalan kebaikan. Manshur berkata dari Mujahid rahimullah, “Tidaklah sekelompok kawan keluar ke Makkah kecuali Iblis berbekal seperti bekal mereka.” (Diriwayatkan Ibnu Hatim dalam tafsirnya).
●Ketujuh, Bahwa berlindung kepada Allah (istiadzah) sebelum membaca adalah pertanda dan peringatan bahwa yang akan datang setelah itu adalah Al-Qur’an. Karena itu, tidak disyari’atkan isti’adzah sebelum membaca bacaan-bacaan yang lain. Maka istiadzah merupakan pendahuluan dan peringatan kepada para pendengar bahwa yang akan dibaca adalah Al-Qur’an. Jika seseorang mendengar istiadzah maka ia dengan demikian bersiap-siap untuk mendengarkan Kalamullah, dan hal itu lalu disyariatkan kepada pembacanya. Seandainya ia disyariatkan untuk pembacanya saja, niscaya kita tidak menyebutkan beberapa hikmah dan lainnya. Demikianlah beberapa manfaat istiadzah.
Dalam Musnad Imam Ahmad, ia berkata, “Jika Nabi saw. berdiri untuk shalat, beliau membaca doa iftitah, lalu membaca:
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk, dari bisikan, tipuan dan hembusannya,”
Tafsir di atas dikatakan, ‘Hamzihi (bisikannya) maknanya kegilaannya, Nafkhihi (tiupannya) maknanya kesombongannya, nafsihi (hembusannya) maknanya syair.
Allah SWT. berfirman:
“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mukminum, 23: 97-98).
Hamzat adalah bentuk jama dari kata hamzatun yang asal makna katanya mendorong. Dan yang sesungguhnya ia adalah mendorong dengan pukulan, yang menyerupai tikaman. Karena itu, ia adalah dorongan tertentu (bukan dorongan biasa). Maka, hamzatusy syayathin adalah dorongan para syetan dengan bisikan-bisikan dan penyesatan mereka ke dalam hati.
Ibnu Abbas dan Al-Hasan berkata, “Hamzatusy syayathin adalah berbagai gogaan dan bisikan-bisikan mereka”.
Kemudian hamazat di sini ditafsirkan dengan nafkhun (tiupan) dan nafsun (hembusan) mereka. Dan ini adalah pendapat Mujahid.
Lalu ditafsirkan pula dengan pencekikan, yakni hal yang menjadikan mereka seperti mengidap penyakit gila.
Dan secara lahirian, makna hamzun dalam hadits di atas adalah suatu jenis ( godaan) yang berbeda dengan nafkhun dan naftsun.
Bisa juga dikatakan, kalimat hamazatusy syaithan jika disebutkan sendiri maka termasuk di dalamnya semua bentuk godaan syetan kepada anak Adam, tetapi jika disebutkan bersama-sama dengan kata nafkhun dan naftsun maka ia adalah bentuk godaan khusus.
Kemudian Allah berfirman:
“Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mukminun, 23: 98).
Ikrimah berkata, “Maksudnya (datang) kepadaku saat dalam sakaratul maut dan dalam kehidupan. Allah memerintahkan kita agar berlindung dari kedua macam godaan syetan, yakni bisikan mereka dan kedekatan mereka dari kita.
 Dari sini maka  isti’adzah mengandung permohonan agar segenap syetan tidak menggoda dan mendekat kepadanya.
Allah SWT. menyebutkan ayat tersebut (tentang perintah istia’dzah) setelah firman-Nya:
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Mukminun, 23: 96).
Allah SWT. memerintahkan manusia agar menjaga diri dari kejahatan syetan-syetan manusia dengan menolak perbuatan buruk mereka kepadanya dengan sesuatu yang lebih baik, dan menolak kejahatan syetan-syetan dari golongan jin dengan istia’dzah (mohon perlindungan kepada Allah) dari mereka.
Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah SWT.:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf, 7: 199).
Catatan Peshawar:Dahulum saat “Cahaya Islam” belum datang ke penduduk Arab , mereka disebut kaum “Jahiliyah atau kaum yang bodoh karena mereka hidup tanpa “Cahaya dari Allah”. Dan perbuatan mereka disebut dengan perbuatan ‘buruk’. Allah SWT. memerintahkan kita agar berpaling dari orang-orang bodoh (jahil) kepada sesuatu yang lebih baik, menjaga diri dari kejahatan syetan-syetan dari kalangan manusia dan dan menolak kejahatan syetan-syetan dari jin dengan beristi’adzah.
Allah SWT. memerintahkan kepada hamba-Nya agar menolak kejagatan orang-orang yang bodoh dengan berpaling dari mereka, kemudian memerintahkan mereka dalam menolak kejahatan syetan dengan isti’adzah daripadanya, Dan itu dapat kita baca pada kelanjutan ayat di atas:
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf, 7: 200).
Senada dengan ayat di atas pula yaitu firman Allah SWT. dalam surat:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat, 41: 34).
LEMAHNYA KEKUASAAN SYETAN
Al-Qur’an memberikan petunjuk untuk menolak kedua musuh ini dengan cara yang paling mudah, yakni dengan memohon perlindungan kepada Allah SWT. (istia’dzah) dan dengan berpaling dari orang-orang yang bodoh, serta dengan menolak kejahatan mereka dengan kebaikan.
Lalu Allah mengabarkan tentang betapa besar keberuntungan orang yang melakukan hal tersebut. Dengan melakukan hal tersebut ia berarti mencegah keburukan mushnya serta menjadikan musuh itu berbalik menjadi teman, lalu kecintaan manusia kepada dirinya, pujian mereka terhadapnya, penundukkan terhadap hawa nafsunya, keselamatan hatinya dari dengki dan iri, ketenangan masyarakat termasuk mantan musuhnya dengan keberadaannya. Dan hal itu termasuk kemuliaan dari Allah dan pahala serta ridha-Nya. Ini merupakan keberuntungan besar, yang telah ia peroleh sejak di dunia hingga kelak di akhirat. Dan ketika hal itu tidak diperoleh kecuali dengan kesabaran maka Allah SWT. berfirman:
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat, 41: 35).
Sebab orang yang terburu-buru dan kurang berpikir, serta orang yang suka menunda-nunda tak akan mampu bersabar menghadapi musuh.
Lalu, ketika marah merupakan kendaraan syetan, sehingga nafsu amarah bekerjasana dengan syetan menghadapi nafsu muthma’inna yang menolak keburukan dengan kebaikan maka Allah memerintahkan agar ia menolong nafsu muthma’innah dengan isti’adzah daripadanya. Lalu, isti’adzah tersebut menjadi penolong bagi nafsu muthma’innah, sehingga ia menjadi kuat menghdapi tentara nafsu amarah. Selanjutnya datang lagi pertolongan kesabaran yang dengannya kemenangan akan diperoleh. Kemudian datang pula pertolongan iman dan tawakal, sehingga melenyapkan kekuasaan syetan.
Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl, 16: 99).
Mujahid, Ikrimah dan para ahli tafsir mengatakan, “Maksudnya adalah syetan itu tidak memiliki hujjah (dalil).
Tetapi lebih tepat dikatakan, “syetan tidak memiliki jalan untuk menguasai mereka, baik dari segi hujjah maupun dari segi kekuasaan.”
Qudrah (kemampuan) termasuk dalam pengertian sultan (kekuasaan). Adapun dikatakan hujjah sebagai sultan karena orang yang menguasai hujjah seperti orang yang mampu melakukan sesuatu dengan tangannya.
Allah SWT. mengabarkan musuh-Nya tidak akan memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan bertawakal kepada-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Hijr:
“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus; kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr, 15: 39-42).
Kemudian Allah SWT. berfirman pula dalam surat An-Nahl,
“Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl, 16: 99-100).
Pertama, penafian dan pembatalan kekuasaan syetan atas para ahli tauhid dan ikhlas. Kedua, adanya kekuasaan syetan atas para ahli syirik dan orang-orang yang setia kepadanya. Karena itu, ketika musuh Allah tersebut mengetahi bahwa Allah tidak akan memberkan padanya kekuasaan atas orang-orang ahli tauhid dan ikhlas maka ia berkata,
“Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS. As-Shad, 38: 82-83).
Musuh Allah itu mengerti bahwa siapayang meminta perlindungan kepada Allah, ikhlas dan tawakal kepada-Nya, niscaya ia tidak akan mampu menyesatkan dan membelokkan mereka. Adapun kekuasaannya hanyalah terbatas pada orang-orang yang setia kepadanya serta mereka yang mempersekutukan Allah. Maka orang-orang itulah bawahan syetan. Syetan menjadi pemimpin, penguasa dan contoh bagi mereka.
Jika dikatakan, “Allah telah menetapkan kekuasaan syetan atas  para kekasihnya dalam beberapa ayat di atas, tetapi bagaimana mungkin bisa terjadi firman Allah menafikan dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman. Dan tidak adalah kekuasaan iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS. Saba, 34: 20-21).
Maka jawabannya adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah, “Sesungguhnya ketika iblis memohon kepada Allah agar menangguhkan kepadanya dan Allah memberinya tangguh, maka syetan pun bersumpa, ‘Sungguh saya akan menyesatkan, membelokkan dan memerntahkan mereka dengan begini, begitu, dan sungguh saya akan mengambil dari hamba-hamba-Mu bagian yang sudah ditentukan (untuk saya)’, dan ia pada waktu mengucapkan hal ini tidak merasa yakin baha apa yang ia tentukan itu bisa terlaksana, tetapi ia mengatakan hal tersebut secara perkiraan, dan ketika orang-orang mengikuti dan mentaatinya maka iblis dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka. Maka Alah berfirman, “Tidaklah pemberian Kami kekuasaan kepada iblis melainkan agar Kami mengetahui antara orang-orang  yang beriman dengan orang-orang yang ragu-ragu. Yakni Kami mengetahui mereka menolong iblis, sehingga telah pastilah ditetapkannya (siksa) dan ditimpakannya balasan atas mereka.”
Berdasarkan hal di atas, maka kekuasaan tersebut maksudnya adalah kekuasaan atas orang yang tidak beriman kepada hari akhirat dan ragu-ragu tentangnya. Dan mereka adalah orang-orang yang setia kepada iblis serta menyekutukan Allah dengannya. Maka kekuasaan tersebut ada, bukan tidak ada, karena itu ayat ini sesuai dengan ayat-ayat senada yang lain.
Jika ditanyakan, “Apa komentar Anda terhadap firman Allah dalam surat Ibrahim, di mana Allah berfirman kepada para penduduk neraka,
“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (QS. Ibrahim, 14: 22).
Perkataan di atas, meskipun merupakan ucapan iblis, tetapi Allah mengabarkannya, sekaligus menetapkan (kebenarannya), dan tidak mengingkarinya. Apakah bukan berarti demikian?
Kita karakan, “Ini adalah pertanyaan bagus. Adapun jawabannya yaitu, kekuasaan yang dinafikan dalam ayat di atas adalah kekuasaan hujjah dan dalil. ◙ Maknanyaya, aku tidak memiliki hujah dan dalil yang dengannya aku beralasan di hadapan kalian. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas ra, ‘Aku tidak memiliki hujjah yang bisa kuberikan kepada kalian.’ artinya, aku tidak menyampaikan hujjah kepada kalian, kecuali aku sekedar mengajak kepada kalian dan kalian mengikuti begitu saja, kalian membenarkan ucapanku, serta kalian mengikuti kami dengan tanpa dalil dan hujjah.” (Catatan Peshawar: Disinlah perlunya kita menanyakan hujjah atau dalil sebelum melakukan sesuatu perbuatan).
Adapun kekuasaan yang ditetapkan dalam firman Allah SWT,
“Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl, 16: 100).
Adalah kekuasaan atas mereka dalam membelokkan, menyesatkan dan mempengaruhinya, yakni dengan menganjurkan dan menggiringnya pada kekufuran dan kesyikan, ia tidak akan meninggalkan mereka begitu saja, sebagaimana firman-Nya,
“Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?,” (QS. Maryam, 19: 83).
Inilah di antara kekuasaan syetan atas orang-orang yang setia padanya dan para ahli syirik, tetapi mereka tidak memiliki kekuasaan berupa hujjah dan dalil, mereka menjawab begitu saja saat mereka diseru. Karena semuanya sesuai dengan hawa nafsu dan tujuan mereka. Mereka sendirilah yang menolong untuk menghancurkan dirinya sendiri, serta memberkan keteguhan kepada musuh mereka untuk menguasai diri mereka, yakni dengan menyepakati dan mengikutinya. Dan ketika mereka menyerahkan tangan-tangan mereka dan lebih mengutamakan musuh,  maka mereka ditundukkan Allah di bawah kekuasaan musuhnya, sebagai bentuk siksaan kepada mereka.◙
Dengan demikian menjadi jelas makna firman Alah,
“...dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa, 4: 141).
Ayat di atas berlaku secara umum dan dipahami secara lahiriah. ◙ Karena itu, orang-orang beriman yang melakukan maksiat atau penyimpangan, maka hal itu akan menjadi sebab penguasaan orang-orang kafir atas mereka sesuau dengan tingkat penyimpangan yang mereka lakukan. Mereka sendirilah penyebab pemusnahan orang-orang kafir atas mereka, sebagaimana mereka menyebabkan hal tersebut saat perang Uhud karena berbuat maksiat dan menyimpang dari perintah Rasulullah saw. (Diriwayatkan Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib).
Allah Swt. tidak akan menjadikan syetan berkuasa atas hamba-Nya, sehingga hamba itu sendiri memberi jalan kepada syetan tersebut dengan mentaatinya dan menyekutukan Allah dengannya, Ketika itulah Allah menjadikan dia dikuasai dan dipaksa oleh syetan. Karena itu, siapa yang mendapatkan kebaikan maka hendaknya ia memuji Allah Ta’ala, dan siapa yang mendapatkan selaian daripada itu maka hendaknya ia tidak mencela kecuali kepada dirinya sendiri.
Tauhid, tawakal dan ikhlas adalah yang menolak kekuasaan syetan atas hamba. Sebaliknya, syirik dan segala cabangnya mengakibatkan kekuasaan syetan atasnya. Dan semua tergantung pada qadha’ Dzat yang di Tangan-Nya terletak segala urusan, semua kembali kepada-Nya, dan Dia memiliki hujjah yang sangat kuat. Dan seandainya Dia menghendaki, niscaya manusia akan menjadi umat yang satu. Hany saja hikmah Allah, puji dan kerajaan-Nya tidak menghendaki yang demikian,
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 93).
Akhirnya, kepada Allah Ta’ala tempat kita inabah (kembali), ikhlas dan tawakal, dan memohon perlindungan-Nya. Allah SWT. berfirman:
“Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-Nya lah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jatsiyah: 45: 36-37).
MELUMPUHKAN SENJATA-SENJATA SYETAN TERHADAP MANUSIA
A
llah Ta’ala berfirman mengabarkan tentang musuhnya iblis saat Dia menanyakan padanya mengapa menolak bersujud kepada Adam serta alasannya bahwa dia lebih baik dari Adam, sehingga Dia mengusirnya dari surga lalu iblis meminta tenggang waktu, dan Allah pun memberkannya, kemudian berkatalah musuh Allah tersebut:
“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf, 7: 16-17).
Makna bahwa saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus adalah seakan-akan syetan itu berkata, “Saya akan tekan mereka, saya akan terus mengintai mereka, dan saya akan senantiasa membelokkan mereka dan sebagainya.
Ibnu Abbas ra. berkata, “Maksud dari jalan Engkau yang lurus adalah dari agama-Mu yang nyata”.
Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Ia adalah Kitabullah.
Jabir berkata, “Ia adalah Islam”.
Mujahid berkata, “Ia adalah kebenaran”.
Semua yang dikatakan di atas, sesungguhnya kembali kepada satu makna, yaitu jalan yang menghubungkan kepada Allah Ta’ala.
Dan dalam hadits Sabrah bin Al-Fakih di muka telah disebutkan “Sesungguhnya syetan menghalang-halangi anak Adam dengan segala jalan”. (Al-Hadits).
Adapun firman Allah, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka mereka”, menurut Al-Hasan maksudnya adalah dari sisi akhirat, dengan mendustakan Hari Kebangkitan, surga dan neraka.
Mujahid berkata, “Dari muka mereka”, maksudnya ke mana saja mereka memandang.”
“Dan dari belakang mereka”, Ibnu Abbas berkata, “Saya akan membuat mereka cinta terhadap dunia”, Al-Hasan berkata, “Saya akan menghiasi dunia mereka dan membuat mereka cinta kepadanya”, Dan dalam riwayat Ibnu Abbas yang lain disebutkan, “Maksudnya dari sisi akirat.” Abu Shalilh berkata, “Saya akan membuat mereka ragu-ragu dalam hal akhirat dan menjauhkan mereka daripadanya.” Mujahid juga berkata, “Dari sisi mana mereka tidak mampu melihat.”
“Dan dari kanan mereka”, Ibnu Abbas berkata, “Saya akan samarkan atas mereka urusan agama mereka.” Abu Shalilh berkata, “Aku akan membuat mereka ragu-ragu dalam hal kebenaran.” Dan riwayat lain dari Ibnu Abbas, “Dalam hal kebaikan-kebaikan mereka.”
Abu Shalih juga berkata, “Dan dari belakang mereka.” Maksudnya keburukan-keburukan yang ia diperintahkan dan anurkan serta yang ia hiaskan dalam pandangan mereka
Dan dalam riwayat shahih (oleh Al-Lalika’I dalam Syarhu Ushulis Sunnah dan sanad Hasan) dari Ibnu Abbas ra. disebutkan bahwa ia berkata, “Syetan tidak berkata dari atas mereka, karena ia tahu bahwa Allah Ta’ala ada di atas mereka.” Asyi-Sya’bi berkata, “Karena Allah Azza wa Jalla menurunkan rahmat dari atas mereka”. Qatadah berkata, “Wahai manusia, syetan mendatangi kalian dari semua arah, hanya saja ia tidak mendatangimu dari atas, karena ia tidak dapat menghalang-halangi dirimu dari rahmat Allah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar