Kamis, 12 April 2012

Makna Dua Kalimat Syahadat yang wajib diketahui


Makna Dua Kalimat Syahadat Yang Wajib Diketahui

Melafadzkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan tuntutannya merupakan rukun dasar agama Islam. Namun sayang, banyak orang yang tidak memahami maknanya. Lebih dari itu, banyak yang meyakini bahwa maksudnya cukup dengan mengucapkannya tanpa memahami dan mengamalkan.
Keutamaan dua kalimat syahadat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda, "Siapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang sampaikan kepada Maryam serta ruh dari-Nya; dan bersyahadat pula bahwa surga dan neraka adalah benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, seberapapun amal yang sudah diperbuatnya." (Muttafaq 'Alaih)
Dan dalan Shahih Muslim dan lainnya, hadits marfu' dari Utsman radliyallah 'anhu,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui makna La Ilaha Illallah pasti masuk surga." (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Saya bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak diibadahi) selain Allah dan aku adalah utusan Allah, tiada-lah seorang hamba bertemu Allah (meninggal dunia) dengan membawa keduanya tanpa ada keraguan sedikitpun pasti ia akan masuk surga." (HR. Muslim)
Dari 'Ubadah bin al Shamit radliyallah 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak diibadahi) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah mengharamkan neraka atasnya." (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencukupkan dua kalimat syahadat untuk para sahabat. Yaitu untuk mengucapkannya, mengamalkan arahannya, lalu melaksanakan konsekuensinya berupa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melaksanakan segala macam ibadah, selalu mentauhidkan Allah 'Azza wa Jalla, dan menjauhi berbagai tradisi  syirik. Inilah makna ucapannya, Laa Ilaaha Illallaah. Sedangkan ikrarnya "Muhammad Rasulullah" mengharuskannya taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengikutinya.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencukupkan dua kalimat syahadat untuk para sahabat.
Yaitu untuk mengucapkannya, mengamalkan arahannya, lalu melaksanakan konsekuensinya berupa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melaksanakan segala macam ibadah, selalu mentauhidkan Allah 'Azza wa Jalla, dan menjauhi berbagai tradisi  syirik.
Makna di atas dipahami oleh orang yang mengerti bahasa Arab, termasuk kandungannya yaitu nafyu (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Kalimat ini tidak cukup hanya dilisankan saja, namun harus dipahami maknanya, diamalkan tuntutannya secara dzahir dan batin. Allah Ta'ala berfirman,
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah." (QS. Muhammad: 19)
"Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya)." (QS. Al Zukhruf: 86) dan ayat semisal yang menjelaskan ilmu (memahami makna) menjadi syarat kalimat syahadatain.
Karena itulah, ketika seorang musyrik mengucapkan dua kalimat syahadat secara dzahir dia dilindungi dan darahnya dijaga sehingga dia diuji dan dilihat setelah itu. Jika dia istiqamah di atas agamanya dan konsisten dengan tauhidnya serta mengamalkan ajaran Islam, maka dia sebagai muslim. Dia mendapat hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin lainnya. Jika dia menyelisihi tuntutan syahadatnya, meninggalkan sebagian syariat Islam dengan menentang dan mengingkarinya, atau menghalalkan sesuatu yang sudah sangat jelas keharamanya, maka kalimat ini tidak bisa menjaminnya.
Banyak cendekiawan dan kaum awam pada zaman sekarang, entah karena bodoh atau taklid, telah rusak akidah mereka dan tumbuh kejahilan terhadap dien dan arahan dua kalimat syahadat ini. Bahkan, makna bahasa Arab secara umum, karenanya tidak heran jika mayoritas mereka tidak memahami makna dua kalimat syahadat, terang-terang melakukan hal yang membatalkannya, mencukupkan dengan membacanya berulang-ulang disertai keyakinan mendapat pahala besar, kebaikan, terjaga harta dan darah, tanpa memahami maknanya dan mengamalkan tuntutannya. Karena itulah, sangat dibutuhkan penjelasan makna dua kalimat syahadat ini sebagai iqamatul hujjah bagi orang yang tindakannya bertentangan dengan tuntutannya dan meyakini kalimat syadahat cukup dibaca berulang-ulang lantas mejadi muslim yang sempurna tauhidnya.
Kalimat syahadat tidak cukup hanya dilisankan saja, namun harus dipahami maknanya, diamalkan tuntutannya secara dzahir dan batin.
Makna Kalimat Laa Ilaaha Illallaah
Para du'at dan ulama sangat memperhatikan materi kalimat tauhid, terutama tentang maknanya. Syaikh Sulaiman bin Abdillah dalam Taisir al 'Aziz al Hamiid, hal 53 menjelaskan, "Makna Laa Ilaaha Illallaah adalah tidak ada yang diibadahi dengan benar kecuali tuhan yang satu, yaitu Allah yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
وَمَاً أَرْسَلْنَا مِن قًبلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِيَ إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهً إِلاَّ أَنَاْ فَاعْبُدُونِ
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku"." (QS. Al Anbiya': 25)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu'." (QS. Al Nahl: 36)
Benar, bahwa makna al Ilaah adalah al ma'bud (yang diibadahi). Karena inilah, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbicara kepada kafir Quraisy, "Ucapkan Laa Ilaaha Illalaah!" mereka menjawab, "Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." (QS. Shaad: 5)
Kaum Huud berkata, "Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?" (QS. Al A'raaf: 70) Padahal Nabi Huud hanya mengajak mereka kepada Laa Ilaaha Illallaah.
Inilah makna Laa Ilaaha Illallaah, yaitu ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah maksud kufur dengan taghut dan iman kepada Allah.
Makna Laa Ilaaha Illallaah yaitu ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah maksud kufur dengan taghut dan iman kepada Allah.
Kalimat agung ini mengandung makna bahwa selain Allah bukan tuhan. Pengakuan tuhan selain Allah merupakan kebatilah terbesar, dan mentapkan dia tuhan adalah kezaliman yang terburuk. Tak seorangpun berhak diibadahi selain Dia, sebagaimana tidak pantas disebut tuhan kecuali hanya Allah. Kalimat ini juga mengandung nafyu ilahiyah (meniadakan ketuhanan) selain Allah dan mentapkannya hanya untuk Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, kalimat ini memerintahkan untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah dan melarang menjadikan tuhan bersama Allah.  Nafyu danitsbat inilah yang dipahami oleh orang yang diseru kepada tauhid atau kalimat Laa Ilaaha Illallaah.
Semua bentuk ibadah yang hadir kerena pengabdian hati kepada Allah dengan cinta, ketundukan, dan kepatuhan kepada-Nya semata masuk dalam kategori uluhiyah. Maka wajib mengesakan Allah dengan ibadah itu, seperti doa, rasa takut, kecintaan, tawakkal, taubat, menyembelih, bernadzar, sujud, dan macam ibadah lainnya. Wajib memberikan semua itu kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Lalu siapa yang memberikan sedikit saja dari ibadah tadi kepada selain Allah maka dia telah menjadi musyrik walau ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah; jika tidak mengamalkan tuntutannya, berupa tauhid dan ikhlash.
ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbicara kepada kafir Quraisy, "Ucapkan Laa Ilaaha Illalaah!"
Mereka menjawab, "Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." (QS. Shaad: 5)
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Dalam mengikrarkan kalimat syahadat harus disertai dengan mengetahui maknanya. Keduanya saling berkaitan, tidak bisa dipisahkan. Maka bagi orang yang mengucapkannya wajib mengetahui maksud kalimat itu, meyakini maknanya, dan menerapkannya dalam hidup.
Dan setelah kita memahami bahwa Laa Ilaaha Illallaah tidak cukup dilafadzkan saja, begitu juga dalam kalimat pasangannya (Muhammad Rasulullah), harus disertai dengan membenarkan risalahnya, komitmen dengan makna dan tuntutannya. Yaitu keyakinan yang menghujam dalam hati bahwa Nabi Muhammadshallallahu 'alaihi wasallam diutus oleh Tuhannya 'Azza wa Jalla, Dia telah memandatkan syari'at ini sebagaimana risalah (kerasulan), memerintahkan untuk menyampaikannya kepada umat, dan mewajibkan kepada seluruh umat untuk menerima risalahnya dan berjalan di atasnya. Hal itu bisa direalisasikan dengan memahami beberapa persoalan berikut ini:
Pertama, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah spesialis dalam risalah ini.
Allah Ta'ala berfirman,
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya." (QS. Al Qashash: 68)
"Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan." (QS. Al An'aam: 124)
"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS. Shaad: 47)
Ayat-ayat serupa sangat banyak yang menunjukkan bahwa para rasul dari kalangan manusia yang telah Allah muliakan, Allah pilih dan sucikan, sehingga mereka layak untuk mengemban risalah, penjaga syariat dan agama-Nya, dan menjadi perantara antara Dia dengan Hamba-hamba-Nya. Allah telah menyebutkan kondisi sebagian kaum yang mendustakan para rasul, mereka telah berkata kepada rasul mereka, "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga." (QS. Ibrahim: 10) Lalu para rasul menjawab,
إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
"Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya." (QS. Ibrahim: 11)
Terlebih lagi Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai penutup para rasul dan seorang rasul terbaik. Allah telah mengistimewakan beliau daripada rasul sebelumnya. Beliau adalah makhluk pilihan yang diangkat menjadi rasul untuk seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia.
Nabi Muhammad maksum dari kesalahan
Umat sepakat bahwa para nabi semuanya maksum (terjaga) dari dosa besar, karena bisa menghilangkan sifat istimewa dan pilihan. Hal ini karena Allah akan mengembankan risalah-Nya kepada mereka agar disampaikan kepada seluruh manusia. Karena itu, mereka harus bisa menjadi teladan bagi umatnya, memberi peringatan agar menjauhi kekufuran dan dosa, kefasikan dan maksiat. Seandainya kesalahan dan kemaksiatan itu nyata maka pada mereka, maka musuh-musuh Islam punya bahan untuk mencela pribadi mereka dan merusak syari'at yang mereka bawa. Ini akan menghilangkan hikmah Allah Ta'ala.
Sesungguhnya di antara bentuk rahmat-Nya, Dia menjaga para nabi-Nya dari mengerjakan kesalahan-kesalahan ini, Allah sendiri juga melarang mereka, menjelaskan keburukan yang ditimbulkannya; sebagaimana Dia mejadikan mereka sebagai teladan dalam zuhud dan menjauhi syahwat dunia yang bisa menyibukkan dari negeri akhirat. Namun, boleh jadi dosa-dosa kecil bisa terjadi pada mereka sebagai ijtihad, tapi tidak menjadi ketetapan, tidak merusak kredibilitasnya, dan tidak menghilangkan kenabian dari mereka. Semua itu sebagai bukti bahwa mereka manusia biasa yang tidak tahu ilmu ghaib dan tidak menyandang sedikitpun dari sifat rububiyyah.
Para mufassir dan ulama telah menyebutkan sebagian kejadian itu, seperti firman Allah Ta'ala:
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya." (QS. Al An'aam: 52)
Dan firman-Nya,
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا
"Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka." (QS. Al Isra': 73-74)
Dan kejadian semacam itu yang dilakukannya sebagai bentuk ijtihad karena menyangka ada maslahat yang besar, sedangkan Allah tahu semua itu tidak akan terwujud. Allah telah menjaga beliau shallallahu 'alaihi wasallam dari melakukan adapun maksiat dan dosa atau membenarkannya karena menghilangkan sifat kerasulan dan sebagai manusia pilihan. Juga karena berseberangan dengan arahan beliau untuk menjauhi kekufuran, kefasikan, dan maksiat. Dari sisi tabligh (menyampaikan) pesan Allah berupa syari'at, maka para ulama bersepakat atas kemaksuman beliau bahkan kemaksuman seluruh nabi dalam menyampaikan risalah Allah, berupa wahyu dan syariat, bahkan Allah telah menjaga beliau dari kesyirikan, zina dan semisalnya, jauh sebelum menjadi Nabi.
Para ulama bersepakat atas kemaksuman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahkan kemaksuman seluruh nabi dalam menyampaikan risalah Allah, berupa wahyu dan syariat,
Allah juga telah menjaga beliau dari kesyirikan, zina dan semisalnya, jauh sebelum menjadi Nabi.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda, "Aku tidak pernah kepingin sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang jahiliyah dan aku juga tidak pernah kepingin melakukan keburukan sehingga Allah memuliakanku dengan risalah-Nya." (Disebutkan oleh al Qadli 'Iyadh dalam kitabnya al Syifa dan lainnya)
Ibnu Ishaq berkata dalam sirahnya, "ketika Rasullullah telah beranjak dewasa, Allah menjaganya, melinduginya dari kotoran dan keburukan jahiliyah. Ketika ingin memuliakannya dan menjadikannya sebagai rasul –di kala itu berada di atas agama kaumnya- sehingga beliau menjadi seorang pemuda yang paling mulia perilaku dan akhlaknya, paling bagus pergaulannya, paling baik kepada tetangganya, paling gagah posturnya, paling amanat dan paling jauh dari sifat dan akhlak tercela yang bisa mengurangi kemuliaan dan kesuciannya, sampai-sampai mendapat julukan dari kaumnya sebagai Al Amiin (sangat terpercaya). . ."
Oleh: Badrul Tamam

Rabu, 11 April 2012

PENGERTIAN JIN, IBLIS DAN SYETAN



Secara etimologis kata Al-Jin berasal dari kata Jannah artinya bersembunyi. Dinamai al-Jin karena tersembunyi dari pandangan manusia. Kata lain yang berasal dari kata jannah adalah junnah, artinya perisai, dinamai demikian karena menyembunyikan kepala prajurit yang memakainya;  jannah artinya sorga atau taman, dinamai demikian karena taman tersembunyi oleh pohon-pohon yang rindang; janin artinya jabang bayi, dinamai demikian karena tersembunyi di dalam perut ibu (Al-Jazairy, tt, hal. 211)

Kata Iblis menurut sebagian ahli bahasa berasal dari kata ablasa artinya putus asa. Dinamai iblis karena dia putus asa dari rahmat atau kasih sayang Allah SWT (Sayid Sabiq, 1986, hal. 219).
            
            Kata Syaitan berasal dari kata Syatana artinya menjauh.  Dinamai syaitan karena jauhnya        dari kebenaran. (Shabuni, 1977, hal.17)





Secara terminologis, Jin adalah sebangsa makhluk ghaib (makhluk rohani) yang diciptakan oleh Allah SWT dari api, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
"Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." (QS. al-Hijr, 15: 27).
Bangsa Jin juga mukhalaf (diperintahkan untuk mengerjakan syari'at agama) sebagaimana halnya manusia:
"Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir." (QS. al-An'am, 6: 130).
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. adz-Dzariat, 51: 56).

 Bangsa Jin itu ada yang patuh dan ada yang durhaka kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan oleh Allah:
"Dan sesungguhnya di antara kami (bangsa Jin) ada yang shaleh ada pula yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda." (QS. al-Jin, 72: 11).
"Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada yang menyimpang gdari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahanam." (al-Jin, 72: 14-15).

Tatkala Allah SWT memerintahkan kepada bangsa Jin untuk sujud kepada Adam bersama dengan para Malaikat, salah satu dari mereka menentang. Yang menentang itulah yang dikenal dengan Iblis, sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT:
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah, 2: 34).

Iblis itulah nenek moyang seluruh Syaitan, yang seluruhnya selalu durhaka kepada Allah SWT dan bertekad untuk menggoda umat manusia (anak cucu Adam) mengikuti langkah mereka menentang perintah Allah SWT.

Ringkasnya Jin adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari api, mukallaf seperti manusia, di antara mereka ada yang patuh dan ada yang durhaka. Yang durhaka pertama kali adalah Iblis, anak cucunya disebut syaitan.

TAFSIR SURAT AL-JIN
(Surat 72: 28 ayat, diturunkan di Makkah, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX hal.149)
Surat al-Jin, yang diturnkan di Makkah juga, adalah surat 72 dalam susunan al-Qur'an. Dia mengandung 28 ayat.
Di dalam al-Qur'an telah bertemu uraian tentang al-Jin itu pada 22 tempat, dan di ayat yang lain disebut juga jinnat dengan arti yang sama. Di dalam surat 51, Surat adz-Dzariat ayat 56 diterangkan dengan jelas:
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. adz-Dzariat, 51: 56).
Dengan sebab yang demikian, tidaklah diragukan lagi bahwa percaya akan adanya jin sebagai makhluk, di samping manusia adalah termasuk bahagian dari Iman. Diterangkan pula di dalam al-Qur'an bahwa manusai bersama jin yang tidak melaksanakan Allah SWT dengan baik akan dilemparkan ke dalam neraka jahanam. Di dalam surat 55, ar-Rahman ayat 15; al-Hijr, 15: 27  diterangkan bahwa jin itu terjadi daripada nyala api. Di dalam surat 18, al-Kahfi, ayat 50 dijelaskan pula bahwa Iblis yang kerap disebutkan sebagai pembangkang kepada Nabi Adam itu adalah dari keturunan jin juga. Dan Iblis pun mengakui ketika dia menyombong bahwa dia lebih mulia dari manusia, bahwa dia terjadi dari api, sedang manusia terjadi dari tanah.
Dari Hasan al-Bishri berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
"Dijadikan Malikat daripa Nur (cahaya), dijadikan Iblis daripada nyala api, dijadikan Adam dari apa yang telah disebut kepada kamu. Di waktu-waktu mendeseak, menggelagaklah periuk memuntahkan isinya, dan tabiatnya mengkhianatinya apabila datang waktunya. (Riwayat Muslim dari Aisyah)
Artinya, karena Iblis itu berasal dari api, ketika diperintah untuk bersama-sama dengan malaikat bersujud kepada Adam, kembalilah dia kepada tabiatnya yang asli. Sebab keshaihan dan kepatuhan bukanlah asal kejadiannya, dia pun kembali kepada tabiat aslinya. Sama juga dengan kucing yang dilatih memegang lampu ketika Raja mengadakan jamuan makan malam. Seketika seekor tikus melompat tidak berapa jauh dari tempat itu, si kucing kembali ke tabiat asalnya. Dia lupa akan lampu yang dia pegang, bahkan secepat kilat dia melompat mengejar tikut itu.
Surat 72 ini khusus dinamai Surat al-Jin karena dari ayat 1 sampai kepada ayat 19 adalah cerita yang berhubungan dengan Jin belaka. Boleh dikatakan sebagai uraian dari ayat yang tersebut dalam surat adz-Dzariat ayat 56 yang telah kita salinkan di permulaan pendahuluan ini, yaitu bahwasannya Nabi Muhammad saw itu diutus bukan semata-mata kepada jenis manusia saja, melainkan kepada manusia dan jin Demikian pula yang disebutkan pada surat 6 al-An'am ayat 130).
Dengan ayat-ayat ini, kita akan mendapat penjelasan bahwa jin itu adalah makhluk Allah belaka yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga mengetahui akan yang ghaib, atau yang akan terjadi sebagaimana disangka-sangka orang. Malahan di dalam Surat 34 Saba', ayat 14, dijelaskan bahwa Jin itu diperintah oleh Nabi Sulaiman untuk mengerjakan pembangunan Masjidil Aqsha atau Rumah Ibadat yang mulia itu. Mereka pun turut bekerja dengan patuhnya. Tiba-tiba Nabi Sulaiman meninggal dunia sedang duduk di atas kursinya bertelekan kepada tongkatnya. Tidak seorang pun para pekerja, baik manusia ataupun jin tahu beliau telah meninggal. Sebab itu orang bekerja keras meneruskan pembangunan itu sampai selesai. Setelah selesai pekerjaan-pekerjaan yang penting, tiba-tiba terjatuhlah jenazah yang mulia itu dari tempat duduknya. sebab tongkat tempat beliau bertelekan telah patah, dimakan oleh anai-anai (rayap) yang menjalar dari tanah. Di situ, di ujung ayat dijelaskan, kalau memang jin itu mengetahui akan yang ghaib, baik tanggal matinya Nabi Sulaiman, atau yang duduk itu bukan Sulaiman yang hidup lagi, melainkan jenazah Nabi Sulaiman, tidaklah mereka akan menderita siksaan begitu lama, yaitu siksaan kerja keras tidak berhenti-henti karena melaksanakan perintahnya. Demikian pula t manusia seperti halnya Jin, tidaklah mereka mengetahui akan yang ghaib melainkan mereka saat itu tidak mengetahui akan kematian Rajanya, Nabi Sulaiman. Allah SWT berfirman:
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An'am, 6: 59).
CERITA KAUM JIN
Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas ra. (yang maknanya saja kita nukilkan di sini), bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. diiringkan oleh beberapa orang sahabat beliau pergi bersama-sama menuju pasaran 'Ukadz. Kononnya pada waktu itu dalam kalangan syaitan-syaitan timbul hiruk-pikuk tidak berketentuan, karea perhubungan dari langit terputus, sehingga berita dari langit tidak ada lagi yang menetes turun ke muka bumi. Bahkan melayanglah apa yang sekarang kita namai meteor, yaitu batu pecahan bintang yang cepat sekali melayang di udara. Yang menurut keterangan dari Allah SWT dalam wahyu, meteor itu adalah semacam panah Tuhan yang dipanahkan kepada syaitan-syaita atau jin yang mencoba memasang telinga h endak mendengar berita-berita langit. Maka di saat Rasulullah sawl itu pergi menuju pasar 'Ukadz it, yaitu pasaran tahunan tempat orang-orang jahiliyah berjual beli dan berlomba syair, tertutup samasekali berita langit itu, bahka batu meteor melayang di udara, tandanya ada syaitan kena panah.
Lalu terjadilah keributan dalam kalangan jin-jin mempertanyakan apa sebab jadi begini. Maka yang terkemuka di antara mereka menyuruh anak buahnya menyelediki ke seluruh permukaan bumi, ke timur dan ke barat untuk menyelidiki apa sebab terjadi demikian.
Tersebutlah bahwa di antara yang disuruh itu sampailah ke lembah Tihamah. Di satu perkebunan korma bertemulah mereka dengan rombongan Rasulullah saw yang hendak menuju pasa 'Ukadz itu. Didapati Rasulullah sedang malakukan shalat subuh diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Beliau membaca al-Qur'an dengan jahar. Lalu mereka dengarkan dengan tekun.
Sesudah mereka dengarkan, kembalilah mereka kepada tempatnya berkumpul dengan kawan-kawannya tadi, lalu dia berkata: "Kami telah mendengar al-Qur'an, sungguh mena'jubkan sekali kandungannya. Dia memberi petunjuk kepada jalan yang bijaksana, jalan yang cerdik dan benar. Karena telah percaya akan isi al-Qur'an itu dan mulai sekarang kami tidak mau lagi mempersekutukan Tuhan kami dengan yang lain sesuatu jua pun."
Inilah beberapa riwayat Bukhari dan Ibnu Abbas itu asal-usul turn ayat. Ada lagi dua tiga hadis yang lain yang hampir sama maknanya dengan hadis ini. Mulim pun meriwayatkan juga dengan susun kata yang lain.
KAMI MENDENGAR AL-QUR'AN YANG MENA'JUBKAN
(QS. al-Jin, 72: 1).

"Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,"
"Katakanlah!" (pangkal ayat 1). Yaitu perintah Tuhan kepada Rasulullah saw. supaya hal ini beliau sampaikan kepada manusia. Ini adalah permulaan wahyu: "Telah diwahyukan kepadaku, bahwasannya telah mendengar sekumpulan dari Jin," yaitu bahwa sekumpulan dari jin telah mendengar bunyi al-Qur'an seketika Rasulullah melakukan shalat subuh bersama sahabat-sahabat beliau dengan suara jahar itu, lalu didengarkan baik-baik oleh jin itu; "Lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur'an yang mena'jubkan itu." (ujung ayat 1).
(QS. al-Jin, 72:2).
"(yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami."
Lalu al-Jin itu meneruskan lagi bagaimana kesan yang tinggal dalam diri mereka mendengar bunyi al-Qur'an: "Memberi petunjuk kepada jalan yang bijaksana." (pangkal ayat 2). Inilah kesan pertama yang tinggal dalam diri mereka setelah al-Qur'an dibaca Nabi. Mula-mula mereka ta'jub, merasa heran tercengang-cengang mendengar ayat itu dibaca. Sebabnya ialah karena isi kandungan teramat bijaksana sekali, sehigga tidak ada jalan buat membantah dan menolak, kalau hati benar-benar bersih; "Maka kami pun berimanlah kepadanya." Setelah mengakui bahwa isi al-Qur'an itu penuh dengan petunjuk kepada kebijaksanaan, tidak dapat tidak mestilah timbul Iman atau Kepercayaan akan kebenaran isinya. Maka oleh sebab telah mengaku beriman kepada al-Qur'an dengan sendirinya timbullah akibat dari iman itu, yaitu: "Dan sekali-kali tidaklah kami akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami." (ujung ayat 2).
Dari ayat ini, dan berdasar kepada Hadis Ibnu Abba ra. ini, ahli tafsir al-Mawardi mengambil kesan; bahwa Jin beriman setelah mendengar al-Qur'an. Ar-Razi mengambil kesan bahwa Jin pun faham rupanya akan bahasa manusia. Dan kesan lain lagi ialah bahwa  jin yang beriman melakukan da'wah pula kepada sejenisnya yang belum beriman.
Dan didapat pula kesan, setelah dipersambung- kan dengan ayat yang telah kita salinkan di pendahuluan yang mengatakan bahwa Iblis adalah bangsa jin dan yang ldam surat ar-Rahman, bahwa jin terjadi daripada nyala api, bahwa di antara jin dan Iblis, dan kadang-kadang disebut juga 'ifrit, semuanya itu adalah makhluk ciptaan Allah dari jenis yang satu, tetapi ada yang kafir sebagaimana telah kita lihat pada kisah iblis tidak mau sujud kepada Adam ketika diperintah oleh Tuhan, dan ada pula yang Islam sebagaimana yang kita lihat dengan jelas dalam ayat ini. Cuma dalam pemakaian bahasa sehari-hari saja telah kita biasakan menyebut bahwa Iblis seluruhnya adalah kafir dan jin ada yang Islam.
Dalam ayat pertama ini pun dapat kita memahamkan bahwa Nabi Muhammad saw. sendiri tidaklah bertemu berhadapan dengan jin yang menyatakan diri beriman setelah mendengar Nabi Muhammad membaca al-Qur'an dengan jahar di kala shalat subuh itu. Bahkan ayat membayangkan bahwa Nabi sendiri pun tidak tahu-menahu. Baru beliau tahu setelah wahyu ini datang memberitahukan.
Kemudian bertemu lagi sebuah hadis yang dirawikan oleh Muslim dalam shahihnya; Dia berkata: "Telah mengatakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah menyatakan kepada kami Abdul A'laa, telah menyatakan kepada kami Daud yaitu Abnu Abi Hindin, diterimanya dari Amir. Amir ini berkata: "Aku tanyakan kepada 'Alqamah: "Adakah Ibnu Mas'ud turut menyaksikan bersama Rasulullah seketika terjadi malam kedatangan jin itu?" Alqamah pun menjawab: "Aku pun telah menanyakan kepada Ibnu Mas'ud, adakah dia turut bersama Rasulullah di malam kedantan jin itu?"
Abdullah bin Mas'ud menjawab: "Tidak!" Tetapi yang kejadian ialah bahwa pada suatu malam pergi bersama Rasulullah. Lalu kami kehilangan beliau, sampai kami cari-cari beliau ke balik-balik bukit dan ke lembah-lembah, namun tidak juga bertemu. Sampai ada di antara kami yang bertanya: "Lenyap!" Kemana?! Apa beliau telah dibunuh orang? Pendeknya pada malam yang semalam itu kami merasakan sangat risau. Setelah datang waktu subuh barulah beliau muncul dari jurusan Bukit Hira'. Lalu kami bertanya: "Engkau tiba-tiba hilang dari kami, ya Rasulullah! Ke mana saja engkau? Sehingga semalam ini kami dalam kesusahan semua!" Lalu beliau menjawab: "Datang menghadap kepadaku jemputan dari jin. Lalu utusan mereka aku ikuti dan aku pergi dan aku ajari al-Qur'an kepada mereka."
Di hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Mas'ud dikatakan bahwa Rasulullah sampai menjumpai jin-jin itu. Imam Hadis yang terkenal al-Baihaqi mengatakan bahwa di antara kedua Hadis itu tidak berlawanan, melainakan keduanya itu sama-sama kejadian. Pada pertemuan yang dirawikan Bukhari dari Ibnu Abbas, dan yang jadi dasar dari ayat 1 surat al-Jin ini Nabi tidak sampai bertemu, hanya diberitahukan oleh Tuhan. Tetapi pada hadis Ibnu Mas'ud yang ditawikan oleh Muslim dijelaskan bahw Nabi sampai bertemu dengan mereka dan Nabi ajarkan al-Qur'an. Di Hadis dan riwayat lain yang dibawakan oleh Ibnu Ishaq dan tertulis dalam Sirat Ibnu Hisyam, ketika Nabi kembali dan melakukan da'wah kepada Kaum Tsaqiif di Thaif, di tengah-tengah jalan akan pulang ke Makkah datang tujuh jin menemui beliau dan menyatakan Iman akan al-Qur'an.
Dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Termidzi tersebut bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. membacakan Surat ar-Rahman di hadapan sahabat-sahabat beliau. Semua terdiam dan tafakukkur mendengar ayat-ayat yang mempesona itu, apatah lagi sesampai pada ayat yang selalu berulang-ulang:
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"
Melihat mereka duduk termenung tafakkur memasukkan pengertian isi ayat itu ke dalam jiwa mereka, bersabdalah Nabi saw: "Jin lebih mendalam sambutan mereka daripada kamu seketika ayat-ayat ini aku baca. Setiap aku sampai kepada ayat "fabi aiyyi aalaa rabbikumma tukadzdzibaan".  jin-jin itu telah menyambut dengan ucapan: "Tidak aka satu pun nikmat Engkau yang kami dustakan, ya Tuhan. Bagi Engkaulah segala puji-pujian."
Riwayat Termidzi ini memperkuat riwayat Ibnu Mas'ud dan riwayat Ibnu Ishaq, bahwa pernah Nabi saw. berhadapan dengan jin-jin itu. Betapa tidak! Bukankah beliau pun diutus kepada jin di samping kepada manusia? Niscaya suda seyogyanya beliau pun bertemu dengan mereka. Dan itulah kelebihan beliau, sehingga dapat bertemu dengan makhluk yang tidak akan dapat ditemui oleh manusia-manusia biasa. Kejaidan ini sama halnya dengan kelebihan beliau saat Allah SWT meng-'Isra' Mi'rajkan ke langit, beliau dapat melihat isi neraka dan surga, penduduk pada lapisan-lapisan langit lainnya. Inilah yang disebut hukum 'Khas' (Khusus)
Tetapi, pada manusia-manusia biasa akan berlaku hukum 'am' (umum) yakni mereka tidak bisa melihat makhluk ghaib yang bernama Jin dan sebangsanya. Allah berfimran dalam surat 7 Al-A'raf ayat 27:
"..Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka." (QS. al-A'raf, 7: 27).
(QS. al-Jin, 72: 3).
"dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak."
Dalam suku kata pertama, dengan segala kesungguhan jin itu menyatakan pengakuan atas Kemaha Tinggian Ilahi, setelah itu diakuinya pula Kebesaran-Nya, "Kebesaran Tuhan Kami". Mereka pun telah sampai ke dalam inti kepercayaan dengan lanjutan pengakuan mereka, "Tidaklah Dia mengambil istri dan tidak pula beranak." (ujung ayat 3).
Itulah pengakuan Tauhid sejati, yang telah sampai kepada puncaknya; bahwa Allah itu berdiri sendirinya. Maha tinggi;  tiada yang menyamai-Nya dalam ketinggian-Nya. "Kebesearan  Tuhan Kami," mutlak kebesaran itu, sehingga, "Tidaklah Dia mengambil isteri dan tidak pula beranak."
Sudah mesti, menurut akal yang sehat bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Mulia, Maha Agung dan mempunyai Kebesaran Yang Mutlak tidak beristeri. Karena beristeri adalah sifat dan alam kekurangan yang ada pada makhluk yang bernyawa. Allah mengadakan sifat alam "Berjantan-bertina" dengan syahwat faraj atau sex, untuk menyambung turunan. Karena kalau seseorang meninggal dunia, Allah mentakdirkan anaknya akan meneruskan kehidupan. Untuk beranak dia mesti beristri. Maka amat janggalah fikiran kalau sampai kepada kesimpulan bahwa Allah Yang Maha Agung itu memerlukan isteri, karena isteri akan memberinya anak. Tuhan tidaklah dapat diserupakan dengan  raja-raja penguasa dunia, yang cemas kalau dia tidak meninggalkan putera mahkota yang akan menyambut kekuasaan kalau datang masanya dia meninggalkan dunia.
(QS. al-Jin, 72: 4).
"Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah."
Lalu jin-jin yang telah Islam itu mengakui terus-terang bahwa dalam kelangan jin-jin itu sendiri ada yang bebal, berfikir kacau balau;  "Dan bahwasannya orang-orang yang bebal (kurang akal) di antara kami." (pangkal ayat 4). Yaitu yang berpikir kacau balau, yang jiwanya tidak bersih, yang pendapat akalnya tidak teratur, "Mengatakan terhadap Allah kata-kata yang tidak karuan." (ujung ayat 4).
Sebagai puncak kedustaan seperti yang dijelaskan di ayat sebelumnya. Yaitu mengatakan bahwa Allah beristeri dan kemudian itu Allah beranak. Misalnya dalam kalangan manusia pemeluk Kristen ada yang memandang Siti Maryam Ibu Isa Almasih atau Yesus Kristus adalah isteri Tuhan, sebab dia melahirkan "Putera" Tuhan, yaitu Isa Almasih atau Yesus Kristus. Dalam ayat cerita jin ini, kepercayaan demikian timbul dari jin yang safih, yang berarti bebal (kurang akal) yaitu berpikir tidak jernih, atau menutup pintu buat berpikir. Padahal semuanya itu adalah tidak masuk akal, kalau kita hendak mendalami siapa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau Allah Subhanahu wa Ta'ala.

(QS. al-Jin, 72: 5).
"dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah."
Di ayat ini mereka menjelaskan diri mereka dengan KAMI. Yaitu kami yang telah mengakui kebenaran Rasul, kami yang telah mendengar bacaan Nabi akan al-Qur'an di kala shalat subuh itu, atau kami yang telah menemui Nbai di malam gulita sehingga Ibnu Mas'ud dan sahabat-sahabat yang lain kehilangan hampir semalam suntuk, atau kami yang bertemu tujuh jin banyaknya di perjalanan pulang beliau dri Thaif. Mereka mengatakan berat persangkaan kami" Kami mengira…" atau artinya yang lebih jelas lagi: "Tidak berdetak di dhati kami, atau tidaklah mungkin kejadian: "Bahwasannya sekali-kali tidaklah akan mengatakan manusia dan jin terhadap Allah kata-kata yang dusta." (ujung ayat 5). Kata-kata yang tidak dapat dibertanggung-jawabkan. Karena Iman yang sejati tidaklah mungkin dicampur-adukkan dengan dusta.
(QS. al-Jin, 72: 6).
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan  kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka mereka itu telah menjadikan mereka menyombong kacau-balau.
Surat ini seluruhnya mengakui bahwa jin itu memang ada! Dari sejak zaman jahiliyah lagi, orang sudah percaya adanya jin. Orang Arab jahiliyah ada kepecayaan bahwa di lekuk-lekuk tempat yang seram, di bukit, di gunung, di lembah ada jin-jin penguasa. Maka kalau mereka berjalan kemana-mana, mereka lebih dahulu memberi hormat kepada "penjaga" atau "penguasa" tempat itu.
Kepercayaan ini pun merata rupanya di mana-mana. Pada suku-suku bangsa kita di Indonesia, Melayu dan Jawa juga ada kepercayaan akan jin-jin itu. Berbagai namanya pada istilah kita; Dewa, dewi, peri, mambang, begu, hantu, orang sibunian, dan lain-lain sebagainya. Bangsa kita pun memuja dan memanggil mereka meminta hindarkan dari bala. Setiap tahun melayan di laut utara Pula Jawa menghantarkan sajen (sajian) kepala kerbau ke tangah-tengah laut untuk menghormati jin penguasa laut. Demikian pula di Pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu (Kelantan, Terengganu). Mantera dukun-dukun di kampung bermacam-macam pula. Bahkan sampai sekarang di Sumatera Timur masih tertinggal kebiasaan 'menepung tawan' yang bermaksud memuja jin supaya jangan mengganggu kepada orang yang ditepung tawan itu.
Inilah yang dijelaskan oleh jin sendiri, pengkuan mereka kepada Allah, lalu disampaikan Allah berupa wahyu kepada Nabi kita Muhammad saw. dan disuruh Nabi kita menyampaikan kepada kita, di awal ayat 1 dengan kalimat "Qul", "Katakanlah! Artinya sampaikanlah kepada ummatmu, bahwa banyak laki-laki di antara manusia memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan jin-jin dan di bigak, nan di bigau, dan sebagainya itu; akibatnya bagaimana?
Lanjutan ayat menjelaskan:
maka mereka itu telah menjadikan mereka menyombong kacau-balau. (ujung ayat 6).
Tegas sekali rankaian pangkal ayat dengan ujung ayat. Ada manusia yang mencari perlindungan kepada jin, padahal tempat kita berlindung yang sejati ialah Allah. Bahkan kita disuruh berlindung kepada Allah daripada pengaruh syaitan yang dirajam. Sekarang si manusia itu berlaku terbalik; kepada jin atau syaitan mereka meminta perlindungan dari bahaya. Apa jadinya? Karena jin itu jelas sama-sama makhluk dengan dia, dan jin itu tidak mempunyai kuasa apa-apa, lantara dia yang dipuja oleh si manusia tadi, maka tidaklah kena alamat yang dituju. Maka menyombonglah jin dan syaitan, berlantas angan kepada manusia yang melindukan didrinya itu. Sebab tahu baha si manusia tidak tahu akan harga dirinya. Selanjutnya bukanlah manusia tadi menjadi tenang, bahkan menjadi bertambah kacau. Sebab bergantung kepada akar lapuk.
Memang ada jin yang kafir dan ada jin yang Islam. Meminta perlindungan kepada jin yang kafir yang "pemimpin besarnya" ialah Iblis, sudah terang melanggar larangan Allah sendiri:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala." (QS. Faathir, 35: 6).
Kalau syaitan Iblis telah memusuhi kita, adakah pantas kita melindungkan diri kepadanya? Artinya melindungkan diri kepada musuh sendiri? Niscaya jalan yang seseatlah yang akan di anjurkan.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa kita boleh memperlindungkan diri atau dengan kata yang lebih halus "meminta tolong", dan kata yang lebih halus lagi "mengambil jin jadi khadam", itu pun tiada layak.
Di dalam al-Qur'an Tuhan menjelaskan bahwa Tuhan memuliakan Anak Adam, mengangkatnya tinggi di darat dan di laut, dan memberinya rezeki dengan yang baik-baik, dan melebihkan Anak Adam dari kebanyakan isi alam ini. Dan Tuhan menyatakan bahwa yang Tuhan jadikan khalifah di muka bumi adalah insa (manusia), bukan jin, bahka bukan malaikat.
Oleh sebab itu adalah amat janggal kalau manusia yang melindungkan diri kepada jin. Tentu saja kacau-balaulah manusia karena berkalang ketumpuan, yang lebih tinggi martabatnya merendahkan diri kepada yang lebih rendah. Tanda bukti lagi atas kemuliaan manusia ialah bahwa Nabi Muhammad seorang manusia diutus kepada manusia dan jin.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, jin sendiri yang memberi ingat bahwa ada laki-laki dari kalangan manusia memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan jin, akibatnya ialah kacau balaulah fikiran. Maksud Allah menaikkan derajat kita mendekati Tuhan, menjadi orang yang bertaqwa sehingga lebih mulai di sisi Tuhan, bahka disuruh agar berdoa memohon kepada Tuhan, bukan saja menjadi orang yang bertakwa bahkan menjadi Imam pula dari orang yang bertakwa bukan menjadi khadam jin dan syaitan.
Mujahid menafsirkan sebagaimana terjemahan kita; yaitu karena manusia pergi memperlidungkan diri kepada jin, maka si jin itu menjadi sombong.
Tetapi Qatadah, Abul 'Aliyah, Rabi' dan Ibnu Zaid menafsirkan: "Oleh karena manusia telah pergi memperlindungkan dirinya kepada jin, dia pun diperbodoh oleh jin itu, sehingga kian lama fikirannya kian kacau, dan kian lama fikirannya kian takut kepada jin." Padahal Allah menentukan tempat takut hanyalah Allah.
Sadi bin Jubair menafsirkan, bahwa lantaran si manusia itu memperlindungkan diri kepada jin, maka bertambah lama bertambah condonglah si manusia tadi kepada kafir.
Al-Qurthubui menegaskan: "Tidak tersembunyi lagi bahwa pergi memperlindungkan diri kepada jin, bukan kepada Allah adalah syirik dan kufur."
Ada orang-orang "berdukun" yang katanya memelihara jin Islam. Jin itu katanya bisa disuruh-suruh. Malahan bisa disuruh mengambil mutiara ke dasar laut. Kalau dicari benar-benar fakta atau kenyataan dari berita ini, tidaklah bertemu pangkalnya yang benar dapat dipertanggung-jawaban.
Tidak juga mustahil bahwa ada jin itu disuruh Tuhan berkhidmat kepada manusia, tetapi itu h anya kemungkinan saja. Yang terang beralasan, baik dari al-Qur'an atau dari Hadis-hadis Nabi ialah bahwa malaikat bisa disuruh Tuhan mengawal manusia, karena teguh imanya. (Lihat surat 41, Fushshilat ayat 30).
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu."
Bersabda Nabi saw:
"Daripada Abu Hurairah ra. daripada Nabi saw. berkata dia: "Berkata Nabi saw.: "Apabila imam telah mengatakan "Sami'allahu liman hamidah" (Allah mendengar barangsiapa yang memuji-Nya), hendaklah dia menyambut dengan ucapan: "Allahmma rabbana lakal hamdu" (Ya Tuhanku! untuk Engkaulah sekalian puji). Maka barangsiapa yang bersamaan kata-katanya itu dengan kata-kata malaikat, niscaya akan diampuni mana ynag telah terdahulu dari dosanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist-hadist semacam ini banyak; Hadis malaikat bersama orang yang mengejar shaf pertama, malaikat bersama orang yang menyusun saf baik-baik. Hadist bahwa malaikat menyampaikan kepada Nabi saw, tiap-tiap shalawa dan salam yang diucapkan umatnya kepada Nabi saw.  dan lain-lain sebagainya. p