“Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS. An-Nahl, 16: 98-100).
MENGOBATI PENYAKIT HATI DARI SYETAN
O
|
rang yang merenungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentu akan mendapatkan
bahwa penyebutan keduanya terhadap masalah syetan, tipu daya dan untuk
memeranginya lebih banyak daripada penyebutannya kepada masalah nafsu. Seperti
penyebutan an-nafsul-amarah bis-su’ (yang
buruk dan jahat) dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf, 12: 53).
An-nafsul-lawwanah
(yang suka mencela, menyesali dirinya sendiri) disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan
aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS. Al-Qiyamah, 75: 2).
Demikian
juga nafsu madzmumah disebutkan dalam
firman-Nya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’. (QS. An-Nazi’at, 79: 40).
Adapu masalah syetan disebutkan dalam banyak
tempat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Peringatan Tuhan kepada hamba-Nya dari
godaan syetan dan tipu daya syetan lebih banyak daripada perngatan-Nya dari
nafsu, dan itulah kelaziman yang sebenarnya. Sebab kejahatan dan rusaknya nfsu
adalah karena godaannya. Maka godaan syetan itulah yang menjadi poros dan
sumber kejahatan atau ketaatannya.
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar
berlindung dari syetan saat membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan ini adalah
karena betapa sangat diperlukannya berlindung diri dari syetan. Sebaliknya,
Allah tidak memerintahkan, meski dalam satu ayat, agar kita berlindung dari
nafsu. Berlindung dari kejahatan nafsu hanya kita dapatkan dalam Khuthbatul
Hajah dalam sabda Nabi saw.
“Dan
kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kami dan dari
keburukan-keburukan perbuatan kami”.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun
isti’adzah (permohonan perlindungan) dari kedua hal tersebut (syetan dan nafsu)
dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra. Bahwasannya Abu Bakar Ash-Shidiq
ra. berkata, “Wahai Rasulullah!, ajarilah sesuatu yang harus kukatakan jika aku
berada pada pagi dan petang hari”,
Beliau saw. menjawab, ‘Katakanlah:
“Ya Allah Yang Maha Mengetahui yang gaib dan
yang nyata, Pencipta segenap langit dan bumi, Tuhan dan
pemilik sesuatu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berak disembah kecuali
Engkau, aku berlindung kepada-u dari kejahatan nafsuku dan dari kejahatan
syetan serta sekutunya, (aku berlindung kepada-Mu) dari melakukan kejahatan
terhadap nafsuku atau
aku lakukannya kepada seorang Muslim.” (Riwayat At-Tirmidzi dan ia
men-shahih-kannya, Abu Daud, Ad-Darimi dengan sanad shahih).
Hadits ini mengandung istiadzah dari semua
kejahatan,, sebab-sebab serta tujuannya. Dan bahwa semua kejahatan itu tak akan
keluar dari nafsu dan syetan. Adapun tujuannya, ia bisa kembali kepada yang
melakukannya atau kepada saudaranya sesama Muslim. Jadi hadits di atas
menjelaskan dua sumber kejahatan yang dari keduanya semua kejahatan berasal dan
menjelaskan dua macam tujuan kejahatan.
BERLINDUNG KEPADA ALLAH DARI SYETAN
“Apabila kamu membaca Al
Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang
terkutuk. Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan)
hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang
yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS. An-Nahl, 16: 98-100).
M
|
emohon perlindungan kepada Allah maknanya meminta penjagaan-Nya serta
bersandar dan mempercayakan kepada-Nya. Allah SWT. memerintahkan agar kita
memohon perlindungan kepada-Nya dari syetan saat membaca Al-Qur’an karena
bebarapa hal:
●Pertama, Al-Qur’an adalah obat bagi ap ayang ada di dalam dada.
Ia menghilangkan apa yang dilemparkan syetan ke dalamnya, berupa bisikan,
syahwat dan keinginan-keinginan yang rusak. Maka Al-Qur’an adalah penawar bagi
apa yang diperntahkan syetan di dalamnya. Karena itu ia diperntahkan mengusir
hal tersebut dan agar mengosongkan hati daripadanya, lalu obat itu mengisi
tempat yang masih kosong sehingga teguh dan meresap, seperti yang diungkapkan
penyair:
“Cintanya datang sebelum aku mengenalnya, cinta itu
menemukan hati yang kosong sehingga ia meresap teguh”.
Sehingga obat tersebut datang pada hati yang kosong dari
hal-hal yang berlawanan dengannya maka ia pun menjadi menang.
●Kedua Para Malaikat dekat dengan par apembaca
Al-Qur’an dan mendengarkan bacaan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
Usaid bin Hudhair saat ia membaca Al-Qur’an, tiba-tiba ia melihat sesuatu
seperti kemah yang di dalamnya terdapat lampu-lampu. (Mendengar hal tersebut)
Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah
malaikat”. (Diriwayatkan Muslim dari Abu Sa’id, dan Al-Bukhari memberkan ta’liq padanya).
●Ketiga,
Syetan memperdaya pembaca
Al-Qur’an dengan berbagai tipu dayanya sehingga membuatnya lupa dari maksud
Al-Qur’an, yakni merenungkan, memahami dan mengetahui apa yang dikehendaki oleh
yang berfirman, Allah SWT.
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat”. (QS. Al-A’raf, 7:
2004).
Syetan berusaha keras menghalangi antara hati
pembacanya dengan maksud Al-Qur’an, sehingga tidak sempurnalah pemanfaatan
pembacanya terhadap Al-Qur’an, karena itu ketika hendak membaca, disyariatkan
agar ia memohon perlindungan kepada Allah SWT.
●Keempat,
Pembaca Al-Qur’an berdialog dengan Allah SWT dengan firman-Nya. Diriwayatkan
Al-Bukhari, Mulsim dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Tidaklah
Allah mengizinkan sesuatu sebagaimana Allah mengizinkan kepada Nabi-Nya untuk
berlagu denga Al-Qur’an.” (Sedangkan syetan bacaannya adalah syair dan lagu.
Karena itu pembaca diperintahkan agar mengusir syetan denagn memohon
perlindungan saat bercengkrama dengan Allah. dan ketika Allah mendengarkan
bacaannya.
●Kelima,
Allah SWT. mengabarkan bahwasannya tidaklah Dia mengutus seorang Rasul atau
nabi pun kecuali jika ia mempunyai suaut keinginan, syetan memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan-keingianan itu. Para salaf sependapat bahwa
maknanya, jika ia membaca Al-Qur’an maka syetan menggoada sepanjang bacaannya. Jika demikian itu yang mereka lakukan terhadap
para rasul Alahis-Salam, maka bagaimana pula dengan orang-orang selain mereka?
Allah SWT. berfirman:
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang
nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu,
sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang
kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu, benar-benar dalam
permusuhan yang sangat. dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini
bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan
tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk
bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”
(QS. Al-Hajj, 22: 52-54).
Karena
itu syetan membuat salah pembaca Al-Qur’an, merancukannya dan menggodanya sehingga
lisannya keliru membaca atau mengusik akal dan hatinya. Maka jika ia membaca
terjadilah bahwa dirinya meninggalkan ayat ini dan itu, atau mungkin
memcampuradukkannya. Karena itulah, sesuatu yang terpenting adalah memohon
perlindungan kepada Allah SWT. dari syetan.
●Kenam,
Syetan sangat bersungguh-sungguh sekali dalam menggoda manusia saat ia
berkeinginan melakukan kebaikan, atau ketika berada di dalamnya, syetan
berusaha keras agar hamba tersebut tidak melanjutkan perbuatan baiknya. Dalam
shahihan disebutkan dari Nabi saw. “Bahwasannya syetan meloncat di atasku tadi
malam. Ia ingin agar aku berhenti dari shalatku…..”
Karena
itu, semakin baik dan bermanfaat suatu perbuatan dan semakin dicintai Allah
SWT. maka syetan semakin besar penentangannya pdanya. Dalam Musnad Imam Ahmad,
dari hadits Sabrah bin Abil Fakih, bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw.
bersabda:
“Sesungguhnya
syetan menghadang anak Adam dengan berbagai jalan. Ia menghadangnya dengan
jalan Islam, sehingga ia berkata, ‘Apakah engkau masuk Islam dan meninggalkan
agamamu serta agama bapak dan nenek-moyangmu?’ Lalu anak Adam itu menolaknya
sehingga ia masuk Islam. Selanjutnya syetan menghadangnya dengan jalan hijrah
seraya berkata, ‘Apakah engkau akan hijrah dan meninggalkan tanah air dan
langitmu?’ Sesungguhnya perumpamaan orang yang hijrah adalah seperti kuda
sepanjang masa.’ Kemudian anak Adam itu menolaknya dan berhijrah. Llau syetan
menghadangnya (lagi) dengan jalan jihad, dan itu adalah jihad dengan jiwa dan
harta. Syetan berkata, ‘Engkau berperang dan engkau akan terbunuh, selanjutnya
istrimu dinikahi (orang lain) dan harta (mu) dibagi-bagi?’ Beliau bersabda, ‘Ia
pun menolaknya dan pergi berjihad.”
Maka
syetan senantiasa mengintai manusia pada setiap jalan kebaikan. Manshur berkata
dari Mujahid rahimullah, “Tidaklah sekelompok kawan keluar ke Makkah kecuali
Iblis berbekal seperti bekal mereka.” (Diriwayatkan Ibnu Hatim dalam
tafsirnya).
●Ketujuh,
Bahwa berlindung kepada Allah (istiadzah)
sebelum membaca adalah pertanda dan peringatan bahwa yang akan datang setelah
itu adalah Al-Qur’an. Karena itu, tidak disyari’atkan isti’adzah sebelum membaca
bacaan-bacaan yang lain. Maka istiadzah merupakan pendahuluan dan peringatan
kepada para pendengar bahwa yang akan dibaca adalah Al-Qur’an. Jika seseorang
mendengar istiadzah maka ia dengan demikian bersiap-siap untuk mendengarkan
Kalamullah, dan hal itu lalu disyariatkan kepada pembacanya. Seandainya ia
disyariatkan untuk pembacanya saja, niscaya kita tidak menyebutkan beberapa
hikmah dan lainnya. Demikianlah beberapa manfaat istiadzah.
Dalam
Musnad Imam Ahmad, ia berkata, “Jika Nabi saw. berdiri untuk shalat, beliau
membaca doa iftitah, lalu membaca:
“Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan
yang terkutuk, dari bisikan, tipuan dan hembusannya,”
Tafsir
di atas dikatakan, ‘Hamzihi
(bisikannya) maknanya kegilaannya, Nafkhihi
(tiupannya) maknanya kesombongannya, nafsihi
(hembusannya) maknanya syair.
Allah
SWT. berfirman:
“Dan
katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan
syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan
mereka kepadaku." (QS. Al-Mukminum, 23: 97-98).
Hamzat
adalah bentuk jama dari kata hamzatun yang
asal makna katanya mendorong. Dan yang sesungguhnya ia adalah mendorong dengan
pukulan, yang menyerupai tikaman. Karena itu, ia adalah dorongan tertentu
(bukan dorongan biasa). Maka, hamzatusy
syayathin adalah dorongan para syetan dengan bisikan-bisikan dan penyesatan
mereka ke dalam hati.
Ibnu
Abbas dan Al-Hasan berkata, “Hamzatusy
syayathin adalah berbagai gogaan dan bisikan-bisikan mereka”.
Kemudian hamazat di sini ditafsirkan dengan
nafkhun (tiupan) dan nafsun (hembusan) mereka. Dan ini adalah pendapat Mujahid.
Lalu ditafsirkan pula dengan pencekikan,
yakni hal yang menjadikan mereka seperti mengidap penyakit gila.
Dan secara lahirian, makna hamzun dalam
hadits di atas adalah suatu jenis ( godaan) yang berbeda dengan nafkhun dan
naftsun.
Bisa juga dikatakan, kalimat hamazatusy
syaithan jika disebutkan sendiri maka termasuk di dalamnya semua bentuk godaan
syetan kepada anak Adam, tetapi jika disebutkan bersama-sama dengan kata
nafkhun dan naftsun maka ia adalah bentuk godaan khusus.
Kemudian Allah berfirman:
“Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya
Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mukminun, 23: 98).
Ikrimah berkata, “Maksudnya (datang) kepadaku
saat dalam sakaratul maut dan dalam kehidupan. Allah memerintahkan kita agar
berlindung dari kedua macam godaan syetan, yakni bisikan mereka dan kedekatan
mereka dari kita.
Dari
sini maka isti’adzah mengandung permohonan agar segenap syetan tidak menggoda
dan mendekat kepadanya.
Allah SWT. menyebutkan ayat tersebut (tentang
perintah istia’dzah) setelah firman-Nya:
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang
lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Mukminun, 23: 96).
◙ Allah SWT. memerintahkan manusia agar menjaga diri dari kejahatan
syetan-syetan manusia dengan menolak perbuatan buruk mereka kepadanya
dengan sesuatu yang lebih baik, dan menolak kejahatan syetan-syetan dari
golongan jin dengan istia’dzah (mohon
perlindungan kepada Allah) dari mereka.
Senada dengan ayat di atas adalah firman
Allah SWT.:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf, 7: 199).
Catatan Peshawar:Dahulum saat “Cahaya Islam” belum datang
ke penduduk Arab , mereka disebut kaum “Jahiliyah atau kaum yang bodoh karena
mereka hidup tanpa “Cahaya dari Allah”. Dan perbuatan mereka disebut dengan
perbuatan ‘buruk’. Allah SWT. memerintahkan kita agar berpaling dari
orang-orang bodoh (jahil) kepada sesuatu yang lebih baik, menjaga diri dari
kejahatan syetan-syetan dari kalangan manusia dan dan menolak kejahatan
syetan-syetan dari jin dengan beristi’adzah.
Allah SWT. memerintahkan kepada hamba-Nya
agar menolak kejagatan orang-orang yang bodoh dengan berpaling dari mereka,
kemudian memerintahkan mereka dalam menolak kejahatan syetan dengan isti’adzah
daripadanya, Dan itu dapat kita baca pada kelanjutan ayat di atas:
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan
syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-A’raf, 7: 200).
Senada dengan ayat di atas pula yaitu firman
Allah SWT. dalam surat:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia.” (QS.
Fushilat, 41: 34).
LEMAHNYA KEKUASAAN SYETAN
Al-Qur’an
memberikan petunjuk untuk menolak kedua musuh ini dengan cara yang paling
mudah, yakni dengan memohon perlindungan kepada Allah SWT. (istia’dzah) dan
dengan berpaling dari orang-orang yang bodoh, serta dengan menolak kejahatan mereka
dengan kebaikan.
Lalu
Allah mengabarkan tentang betapa besar keberuntungan orang yang melakukan hal
tersebut. Dengan melakukan hal tersebut ia berarti mencegah keburukan mushnya
serta menjadikan musuh itu berbalik menjadi teman, lalu kecintaan manusia
kepada dirinya, pujian mereka terhadapnya, penundukkan terhadap hawa nafsunya,
keselamatan hatinya dari dengki dan iri, ketenangan masyarakat termasuk mantan
musuhnya dengan keberadaannya. Dan hal itu termasuk kemuliaan dari Allah dan
pahala serta ridha-Nya. Ini merupakan keberuntungan besar, yang telah ia
peroleh sejak di dunia hingga kelak di akhirat. Dan ketika hal itu tidak
diperoleh kecuali dengan kesabaran maka Allah SWT. berfirman:
“Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat, 41: 35).
Sebab orang yang terburu-buru dan kurang
berpikir, serta orang yang suka menunda-nunda tak akan mampu bersabar menghadapi
musuh.
Lalu, ketika marah merupakan kendaraan
syetan, sehingga nafsu amarah bekerjasana dengan syetan menghadapi nafsu muthma’inna yang menolak keburukan
dengan kebaikan maka Allah memerintahkan agar ia menolong nafsu muthma’innah dengan isti’adzah
daripadanya. Lalu, isti’adzah tersebut
menjadi penolong bagi nafsu muthma’innah,
sehingga ia menjadi kuat menghdapi tentara nafsu amarah. Selanjutnya datang
lagi pertolongan kesabaran yang dengannya kemenangan akan diperoleh. Kemudian
datang pula pertolongan iman dan tawakal, sehingga melenyapkan kekuasaan
syetan.
Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya syaitan ini tidak ada
kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl, 16: 99).
Mujahid, Ikrimah dan para ahli tafsir
mengatakan, “Maksudnya adalah syetan itu tidak memiliki hujjah (dalil).
Tetapi lebih tepat dikatakan, “syetan tidak
memiliki jalan untuk menguasai mereka, baik dari segi hujjah maupun dari segi
kekuasaan.”
Qudrah (kemampuan) termasuk dalam pengertian sultan (kekuasaan). Adapun dikatakan hujjah sebagai sultan
karena orang yang menguasai hujjah
seperti orang yang mampu melakukan sesuatu dengan tangannya.
Allah SWT. mengabarkan musuh-Nya tidak akan
memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan bertawakal kepada-Nya.
Allah berfirman dalam surat Al-Hijr:
“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab
Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara
mereka". Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus; kewajiban
Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada
kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu
orang-orang yang sesat.”
(QS. Al-Hijr, 15: 39-42).
Kemudian Allah SWT. berfirman pula dalam
surat An-Nahl,
“Sesungguhnya syaitan ini tidak ada
kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.
Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya
jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl, 16: 99-100).
Pertama, penafian dan pembatalan kekuasaan syetan atas para ahli tauhid
dan ikhlas. Kedua, adanya kekuasaan syetan atas para ahli syirik dan
orang-orang yang setia kepadanya. Karena itu, ketika musuh Allah tersebut
mengetahi bahwa Allah tidak akan memberkan padanya kekuasaan atas orang-orang
ahli tauhid dan ikhlas maka ia berkata,
“Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau
aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di
antara mereka.” (QS.
As-Shad, 38: 82-83).
Musuh Allah itu mengerti bahwa siapayang
meminta perlindungan kepada Allah, ikhlas dan tawakal kepada-Nya, niscaya ia
tidak akan mampu menyesatkan dan membelokkan mereka. Adapun kekuasaannya
hanyalah terbatas pada orang-orang yang setia kepadanya serta mereka yang
mempersekutukan Allah. Maka orang-orang itulah bawahan syetan. Syetan menjadi
pemimpin, penguasa dan contoh bagi mereka.
Jika dikatakan, “Allah telah menetapkan
kekuasaan syetan atas para kekasihnya
dalam beberapa ayat di atas, tetapi bagaimana mungkin bisa terjadi firman Allah
menafikan dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat
membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya,
kecuali sebahagian orang-orang yang beriman. Dan tidak adalah kekuasaan iblis
terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang
beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu.
Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS. Saba, 34: 20-21).
Maka jawabannya adalah apa yang dikatakan
oleh Ibnu Qutaibah, “Sesungguhnya ketika iblis memohon kepada Allah agar
menangguhkan kepadanya dan Allah memberinya tangguh, maka syetan pun bersumpa,
‘Sungguh saya akan menyesatkan, membelokkan dan memerntahkan mereka dengan
begini, begitu, dan sungguh saya akan mengambil dari hamba-hamba-Mu bagian yang
sudah ditentukan (untuk saya)’, dan ia pada waktu mengucapkan hal ini tidak
merasa yakin baha apa yang ia tentukan itu bisa terlaksana, tetapi ia
mengatakan hal tersebut secara perkiraan, dan ketika orang-orang mengikuti dan
mentaatinya maka iblis dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka.
Maka Alah berfirman, “Tidaklah pemberian
Kami kekuasaan kepada iblis melainkan agar Kami mengetahui antara
orang-orang yang beriman dengan
orang-orang yang ragu-ragu. Yakni Kami mengetahui mereka menolong iblis,
sehingga telah pastilah ditetapkannya (siksa) dan ditimpakannya balasan atas
mereka.”
Berdasarkan hal di atas, maka kekuasaan
tersebut maksudnya adalah kekuasaan atas orang yang tidak beriman kepada hari
akhirat dan ragu-ragu tentangnya. Dan mereka adalah orang-orang yang setia
kepada iblis serta menyekutukan Allah dengannya. Maka kekuasaan tersebut ada,
bukan tidak ada, karena itu ayat ini sesuai dengan ayat-ayat senada yang lain.
Jika ditanyakan, “Apa komentar Anda terhadap
firman Allah dalam surat Ibrahim, di mana Allah berfirman kepada para penduduk
neraka,
“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara
(hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu
janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku
menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan
(sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu
janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku
sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat
menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
(dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu
mendapat siksaan yang pedih.” (QS. Ibrahim, 14: 22).
Perkataan di atas, meskipun merupakan ucapan
iblis, tetapi Allah mengabarkannya, sekaligus menetapkan (kebenarannya), dan
tidak mengingkarinya. Apakah bukan berarti demikian?
Kita karakan, “Ini adalah pertanyaan bagus.
Adapun jawabannya yaitu, kekuasaan yang dinafikan dalam ayat di atas adalah
kekuasaan hujjah dan dalil. ◙ Maknanyaya, aku tidak memiliki hujah dan dalil
yang dengannya aku beralasan di hadapan kalian. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Abbas ra, ‘Aku tidak memiliki hujjah yang bisa kuberikan kepada kalian.’
artinya, aku tidak menyampaikan hujjah kepada kalian, kecuali aku sekedar mengajak
kepada kalian dan kalian mengikuti begitu saja, kalian membenarkan ucapanku,
serta kalian mengikuti kami dengan tanpa dalil dan hujjah.” (Catatan Peshawar: Disinlah
perlunya kita menanyakan hujjah atau dalil sebelum melakukan sesuatu
perbuatan).
Adapun kekuasaan yang ditetapkan dalam firman
Allah SWT,
“Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah
atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl, 16: 100).
Adalah kekuasaan atas mereka dalam
membelokkan, menyesatkan dan mempengaruhinya, yakni dengan menganjurkan dan
menggiringnya pada kekufuran dan kesyikan, ia tidak akan meninggalkan mereka
begitu saja, sebagaimana firman-Nya,
“Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah
mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka
berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?,” (QS. Maryam, 19: 83).
Inilah di antara kekuasaan syetan atas
orang-orang yang setia padanya dan para ahli syirik, tetapi mereka tidak
memiliki kekuasaan berupa hujjah dan dalil, mereka menjawab begitu saja saat
mereka diseru. Karena semuanya sesuai dengan hawa nafsu dan tujuan mereka.
Mereka sendirilah yang menolong untuk menghancurkan dirinya sendiri, serta
memberkan keteguhan kepada musuh mereka untuk menguasai diri mereka, yakni
dengan menyepakati dan mengikutinya. Dan ketika mereka menyerahkan
tangan-tangan mereka dan lebih mengutamakan musuh, maka mereka ditundukkan Allah di bawah
kekuasaan musuhnya, sebagai bentuk siksaan kepada mereka.◙
Dengan demikian menjadi jelas makna firman
Alah,
“...dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa, 4: 141).
Ayat di atas berlaku secara umum dan dipahami
secara lahiriah. ◙ Karena itu, orang-orang beriman yang melakukan maksiat atau
penyimpangan, maka hal itu akan menjadi sebab penguasaan orang-orang kafir atas
mereka sesuau dengan tingkat penyimpangan yang mereka lakukan. Mereka
sendirilah penyebab pemusnahan orang-orang kafir atas mereka, sebagaimana
mereka menyebabkan hal tersebut saat perang Uhud karena berbuat maksiat dan
menyimpang dari perintah Rasulullah saw. (Diriwayatkan Al-Bukhari dari
Al-Barra’ bin Azib).
Allah Swt. tidak akan menjadikan syetan
berkuasa atas hamba-Nya, sehingga hamba itu sendiri memberi jalan kepada syetan
tersebut dengan mentaatinya dan menyekutukan Allah dengannya, Ketika itulah
Allah menjadikan dia dikuasai dan dipaksa oleh syetan. Karena itu, siapa yang
mendapatkan kebaikan maka hendaknya ia memuji Allah Ta’ala, dan siapa yang
mendapatkan selaian daripada itu maka hendaknya ia tidak mencela kecuali kepada
dirinya sendiri.
Tauhid, tawakal dan ikhlas adalah yang
menolak kekuasaan syetan atas hamba. Sebaliknya, syirik dan segala cabangnya
mengakibatkan kekuasaan syetan atasnya. Dan semua tergantung pada qadha’ Dzat
yang di Tangan-Nya terletak segala urusan, semua kembali kepada-Nya, dan Dia
memiliki hujjah yang sangat kuat. Dan seandainya Dia menghendaki, niscaya
manusia akan menjadi umat yang satu. Hany saja hikmah Allah, puji dan
kerajaan-Nya tidak menghendaki yang demikian,
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia
menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 93).
Akhirnya, kepada Allah Ta’ala tempat kita
inabah (kembali), ikhlas dan tawakal, dan memohon perlindungan-Nya. Allah SWT.
berfirman:
“Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan
langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-Nya lah keagungan di langit
dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jatsiyah: 45: 36-37).
MELUMPUHKAN SENJATA-SENJATA SYETAN TERHADAP MANUSIA
A
|
llah Ta’ala berfirman mengabarkan tentang musuhnya iblis saat Dia
menanyakan padanya mengapa menolak bersujud kepada Adam serta alasannya bahwa
dia lebih baik dari Adam, sehingga Dia mengusirnya dari surga lalu iblis
meminta tenggang waktu, dan Allah pun memberkannya, kemudian berkatalah musuh
Allah tersebut:
“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan
dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf, 7: 16-17).
Makna bahwa saya akan menghalang-halangi
mereka dari jalan Engkau yang lurus adalah seakan-akan syetan itu berkata,
“Saya akan tekan mereka, saya akan terus mengintai mereka, dan saya akan
senantiasa membelokkan mereka dan sebagainya.
Ibnu Abbas ra. berkata, “Maksud dari jalan
Engkau yang lurus adalah dari agama-Mu yang nyata”.
Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Ia adalah
Kitabullah.
Jabir berkata, “Ia adalah Islam”.
Mujahid berkata, “Ia adalah kebenaran”.
Semua yang dikatakan di atas, sesungguhnya
kembali kepada satu makna, yaitu jalan yang menghubungkan kepada Allah Ta’ala.
Dan dalam hadits Sabrah bin Al-Fakih di muka
telah disebutkan “Sesungguhnya syetan
menghalang-halangi anak Adam dengan segala jalan”. (Al-Hadits).
Adapun firman Allah, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka mereka”, menurut
Al-Hasan maksudnya adalah dari sisi akhirat, dengan mendustakan Hari
Kebangkitan, surga dan neraka.
Mujahid berkata, “Dari muka mereka”, maksudnya ke mana saja mereka memandang.”
“Dan dari belakang mereka”, Ibnu Abbas
berkata, “Saya akan membuat mereka cinta terhadap dunia”, Al-Hasan berkata,
“Saya akan menghiasi dunia mereka dan membuat mereka cinta kepadanya”, Dan
dalam riwayat Ibnu Abbas yang lain disebutkan, “Maksudnya dari sisi akirat.”
Abu Shalilh berkata, “Saya akan membuat mereka ragu-ragu dalam hal akhirat dan
menjauhkan mereka daripadanya.” Mujahid juga berkata, “Dari sisi mana mereka
tidak mampu melihat.”
“Dan dari kanan mereka”, Ibnu Abbas berkata,
“Saya akan samarkan atas mereka urusan agama mereka.” Abu Shalilh berkata, “Aku
akan membuat mereka ragu-ragu dalam hal kebenaran.” Dan riwayat lain dari Ibnu
Abbas, “Dalam hal kebaikan-kebaikan mereka.”
Abu Shalih juga berkata, “Dan dari belakang
mereka.” Maksudnya keburukan-keburukan yang ia diperintahkan dan anurkan serta
yang ia hiaskan dalam pandangan mereka
Dan dalam riwayat shahih (oleh Al-Lalika’I
dalam Syarhu Ushulis Sunnah dan sanad Hasan) dari Ibnu Abbas ra. disebutkan
bahwa ia berkata, “Syetan tidak berkata dari atas mereka, karena ia tahu bahwa
Allah Ta’ala ada di atas mereka.” Asyi-Sya’bi berkata, “Karena Allah Azza wa
Jalla menurunkan rahmat dari atas mereka”. Qatadah berkata, “Wahai manusia,
syetan mendatangi kalian dari semua arah, hanya saja ia tidak mendatangimu dari
atas, karena ia tidak dapat menghalang-halangi dirimu dari rahmat Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar