Sesungguhnya indra manusia yang merupakan sarana untuk mengenal berbagai wujud dan hakikat yang ada disekitarnya dapat diibaratkan sebagai jendela yang menghubungkan dengan dunia luar. Berkat adanya 'jendela' tersebut, indra sanggup menjangkau serta menjalin hubungan dengan alam sekitarnya. Indra itu dinamakan "Pancaindra", [meliputi: Indra pendengaran, indra penglihatan, indra penciuman, indra perasaan, n indra perabaan]. Setiap orang mempunyai kekuatan indra yang besar. Namun demikian rangsangannya yang datang bukan dari dalam diri sendiri, tetapi dari luar. Kelima indra tersebut mempunyai kaitan dengan alam kejiwaan yang bersifat emosional, seperti perasaan benci, cinta, senang, marah, berani, takut, rasa sakit, keseimbangan dan rasa birahi.
egala sesuatu
yang dapat dijangkau oleh indra-indra tersebut merupakan hakikat kekuatan
indra, dan memungkinkan indra berkhayal / membayangkan sesuatu. Selanjutnya
indra mengambil intisari dari kaidah-kaidah umum yang ada serta merombak dan
menyusunnya kembali. Kita permisalkan, orang-orang yang tidak mempunyai 'indra
penglihatan' sejak lahir, tidak akan dapat membayangkan/ mengkhayalkan dalam
benaknya walau bagaimanapun cerdasnya dia, suatu warna, sekalipun kita berusaha
menjelaskan kepadanya tentang warna dengan menggunakan permisalan, sebab kaum
'tunanetra belum pernah berhubungan dengan suatu hakikat yang bernama warna
melalui indra penglihatan.
Demikian
pula halnya dengan para 'tunarungu' sejak lahir. Mereka tidak dapat
membayangkan bagaimana bentuk suara, sekalipun di dekatnya terdengar suara yang
sangat keras. Kita pun tidak dapat – dengan cara apapun– untuk memberikan
gambaran tentang suara kepada mereka, sebab mereka belum pernah membuka jendela
pendengarannya dan mendengar suatu hakikat yang bernama suara. Dan masih banyak
contoh-contoh lain. Singkatnya, jiwa manusia dapat mengenal berbagai hakikat
yang ada dijagat raya ini melalui jendela yang menghubungkannya dengan alam.
Tanpa adanya jendela tersebut maka manuisa tidak akan mengenal hakikat yang
berada di luar jiwanya dan ia akan tetap berada dalam ketidaktahuan. Dalam hal
ini, Al-Qur'an mengisyartkan suatu hakikat yang tidak dipungkiri oleh setiap
jiwa yang sehat, yaitu:
"….Mereka
tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebagai itu) mereka tidak mengerti.." (QS.
Al-Baqarah2: 171).
"Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang yang pekak
dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun." (QS.
Al-Anfal, 8: 22).
A.
KELEMAHAN INDRA MANUSIA
Sekitanya
manusia dianugerahi oleh Allah indra tambahan selain yang telah dimilikinya,
maka mereka akan dapat mengenal berbagai hal yang bersifat 'Ghaib'.
Sekarang
manusia tidak dapat meraba atau merasakan hal-hal ghaib itu karena ia tidak
mempunyai indra khusus untuk mengenalnya. Sesungguhnya indra manusia itu sangat
lemah. Bukankah sejumlah peralatan, misalnya alat pengukut suhu udara, serta
alat pengukur kekuatan dan kelambatan tiupan angin, adalah menunjukkan akan
kelemahan dan kekurangan indra manusia.
Logikanya,
bila kita memiliki indra dengan kemampuan yang sama dengan kemampuan peralatan
tersebut maka kita akan dapat mengenal apa yang ditangkap / dirasakan oleh
peralatan itu tanpa bantuan alat apa pun.
Lalu,
bagaimana sekiranya manusia juga dianugerahi oleh Allah indra yang dapat
menembus lapisan bumi? Tentunya ia akan mengetahui kandungan mineral di perut
bumi dan adanya tambang emas, perak, atau besi yang terkandung di dalamnya.
Sekiranya manusia memiliki indra dengan kemampuan seperti itu, dan bukan hanya
terbatas berupa panca indra, maka sungguh manusia akan lebih peka dan lebih
banyak mengenal alam sekitarnya melalui indra tersebut. Sungguh, betapa
banyaknya kelemahan dan kekurangan indra manusia, kendati ia merupakan makhluk
yang paling sempurna.
Coba
renungkan bukankah sejumlah makhluk lain dilengkapi dengan indra yang tidak
dimiliki oleh manusia.
B.
KEKUATAN INDRA MANUSIA
Sesungguhnya
indra manusia yang merupakan sarana untuk mengenal berbagai wujud dan hakikat
yang ada disekitarnya sangat terbatas ruang lingkupp dan jangkauannya. Menurut
ilmu pengetahuan modern, berdasarkan penelitian, ruang angkasa penuh dengan
sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra penglihatan manusia. Demikian pula ia
penuh dengan suara-suara yang tidak terjangkau oleh indra pendengar manusia.
Jika kita mengatakan dengan pasti bahwa di ruang angkasa tidak terdapat sesuatu
apa pun atau suara apa pun, baik yang zhahir maupun yang tersembunyi (karena
indra tidak dapat menjangkaunya), itu berarti kita mendustakan kenyataan, dan
anggapan itu tidak dapat diterima oleh akal sehat, sebab peralatan mutakhir
mampu mengungkapkan sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra pendengaran maupun
indra penglihatan. Temuan-temuan terakhir manusia merupakan bukti yang jelas
menunjukkan kebodohdan manusia. Bagaimana tidak? Kita dengan pasti mengatakan
bahwa di ruang angkasa tidak ada sesuatu apa puh dan tidak ada suara apa pun,
padahal kita mengetahui bahwa setiap hari ribuan penelitian membuktikan
keterbatasan ruang lingkup jangkauan indra manusia. Merupakan suatu fakta bahwa
jika suatu suara makin menjauh dari jangkauan indra pendengaran maka indra
pendengaran manusia semakin tidak mampu menangkapnya. Demikain pula halnya
dengan indra penglihatan, semakin jauh posisi suatu benda / objek dari
jangkauan indra penglighatan maka indra tersebut semakin tidak mampu
menangkapnya.
Sementara
itu, indra 'perasa' mempunyai persyaratan khusus yang berbeda dengan indra yang
lain. Indra ini hanya dapat mendapatkan keberadaan sesuatu melalui sentuhan
secara langsung, seperti mengenal rasa panas, dan rasa dingin.
Adapun
tentang bagaimana setiap indra manusia mempunyai persyaratan khusus untuk
mengenal sesuatu disekitarnya. Misal indra penglihatan membutuhkan cahaya untuk
melihat sesuatu. Jika tidak ada cahaya suasa menjadi gelap sehingga indra
penglihatan tidak mungkin melihat sesuatu. Demikian pula dengan sesuatu yang
berukuran kecil hanya dapat dilihat dengan alat pembesar dengan ukuran yang
sesuai dengan kebutuhannya.
Selain
contoh diatas, masih banyak lagi hal yang mengharuskan kita mempecayai sesuatu
sekali pun kita tidak dapat merabanya secara langsung. Kita dapat mempercayai
adanya sesuatu itu dengan cara menarik kesimpulan. Misalnya, ketika berada di
kamar, terdengar ketukan dipintu. Pada saat itu juga Anda berkesimpulan bahwa
ada seseorang yang mengetuk pintu kamar Anda, sekalipun Anda tidak dapat
melihat orangnya, sebab Anda merasa yakin bahwa dari pintu itu tidak mungkin
timbul suara dengan sendirinya.
Suatu
hal yang harus kita garis bawahi dalam masalah ini adalah pernyataan yang dungu
yang terpengaruh paham atheis bahwa mereka tidak mengimani sesuatu yang tidak
terjangkau oleh indra. Mereka beranggapan bahwa indra manusia pasti dapat
menjangkau segala sesuatu disekitar kita. Terhadap pandangan seperti ini kita dapat
menjawab dengan singkat sebagai berikut: setiap hari dunia ilmu pengetahuan hal
baru disekitar kita, bahkan tidak
sedikit yang berada dalam jiwa kita namun sepanjang sejarahnya, belum pernah
manusia membayangkan atau merasakan hal baru.
Dalam
hal ini ada kisah menarik tentang jawaban seorang anak yang cerdik – yang
muncul secaya spontan dari kemurnian fitrahnya– terhadap orang dungu dari
kalangan atheis, orang dungu itu mengatakan bahwa ia tidak mempercayai
keberadaan sesuatu yang tidak berwujud atau tidak terjangkau oleh panca indra
(sehingga pada akhirnya mereka mengingkari adanya Tuhan karena merka tidak
dapat melihatnya). Anak yang cerdik dan masih murni itu berkata: "Wahai
orang pandai, kami semua yang hadir disini belum pernah melihat bentuk dan rupa
akal pikiranmu yang sangat briliyand, jika demikain, maka berarti engkau tidak
mempunyai akal pikiran."
C.
KHAYALAN
DAN BATAS-BATASNYA
Ada
bagian dalam benak kita yang mampu membayangkan sesuatu yang tidak berwujud.
Namun demikian, betapa pun berusaha membayangkan sesuatu, kita tidak akan
mampun melakukan kecuali dengan cara memadukan bagian-bagian yang wujud dan
telah kita kenal melalui indra di alam raya ini. Dengan demikian, khayalan di
dalam benak kita terbatas dengan menggabung- gabungkan atau memadukan
bagian-bagian dari alam sehingga seolah-olah merupakan suatu kesatuan. Oleh
karena itu, para penyair, budayawan, dan pengarang cerita fiktif tidak mampun
mengkhayalkan sesuatu kecuali sebatas hal-hal yang merupakan bagian dari alam
yang pernah mereka jangkau dengan indra.
Banyak
sekali contoh tentang hal ini. Misalnya, seseorang membayangkan adanya sesuatu
hewan aneh yang memiliki dua puluh sayap. Sayap bagian kanan ada yang wangi
oromanya bagaikan minyak wangi ini atau itu. Sedangkan sayap disebelah kiri
terdapat semacam kantong untuk menyimpang kantong makanan. Ia membayangkan
keberadaan hewan seperti ini berdasarkan gambaran tentang sesuatu yang dapat
dijangkau oleh panca indra manusia.
Intinya,
khayalan atau gambaran kita bagaimanapun tinggi dan melambung, tidak akan
melebihi hakikat yang terjangkau oleh panca indra manusia. Dengan demikian,
dapat kita katakan bahwa mustahil bagi kita membayangkan kehidupan akhir,
karena kita belum pernah menjangkau dan mengenalinya baik situasi dan
kondisinya. Demikian pula mustahil bagi kita membayangkan bagaimana penciptaan
Malaikat, jin dan makhlul-makhluk lainnya yang jauh dari jangkauan indra
manusia. Dan mustahil pula bisa membayangkan bentuk dan rupa dari
makhluk-makhluk ghaib itu secara pasti, selain menduga-duga sesuai gambaran
khayalan yang pernah ada. Karenanya pengarang cerita-cerita fiktif selalu
berlainan di dalam menggambarkan sesuatu yang ghaib, seperti cara mereka
membayangkan malaikat atau jin misalnya, ada yang menggambarkan bahwa malaikat
itu adalah seorang perempuan cantik dan
bersayap serta mengenakan pakaian putih-putih. Ada yang menggambarkan bahwa
Malikait itu dikepalanya ada semacam lingkaran cincin yang selalu menyertainya
kemana ia pergi dan selalu membawa tongkat. Tapi secara garis besar mereka
adalah makhluk yang baik dan suka menolong. Demikian pula cara mereka
menggambarkan sesosok bentuk jin atau setan pada setiap manusia adalah
berlainan. Tergantung pada gambaran umum yang ditempatnya masing-masing.
Misalnya, di Barat lebih terkenal dengan 'Vampire' atau 'Dracula'. Mereka
menggambarkan bahwa 'Vampire atau Dracula itu adalah sesosok makhluk setan yang
bertaring tajam dengan baju berjubah panjang dibelakangnya. Ia selalu mencari
mangsanya dari jenis manusia untuk dihisap darahnya melalui leher korbannya.
Karena dengan cara demikianlah ia mempertahankan hidupnya. Tapi Vampire atau
Dracula tidak begitu dikenal di daerah wilayah timur, misalnya di tempat kita
sendiri di Indonesia. Di sini lebih dikenal dengan jenis setan 'Pocongan' atau
sejenis lainnya, karenanya cara menggambarkannya bentuk-bentuk setan pun
berbeda-beda, tergantung informasi yang di dapat, kemudian menggabung-
gabungkan atau memadukan bagian dari informasi yang pernah di dapat oleh pengalaman
panca indranya, sehigga seolah-olah merupakan suatu kesatuan. Ia mengkhayalkan
keberadaan setan seperti ini berdasarkan gambaran tentang sesuatu yang dapat
dijangkau oleh panca indra manusia, sedangkan fakta yang sesunggunya tidaklah
demikian. Padahal di dalam kitab Suci Al'Qur'an telah jelas-jelas ditegaskan
bahwa manusia itu tidak bisa melihat setan. Allah swt. Berfirman:
"Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia
(setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak
bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman."
(QS. Al-A'raf, 7: 27).
Dalam
sebuah hadits shahih dari Imam Muslim telah diriwayatkan: "Bersumber dari
Abu Salamah bin Abdurrahman dan lainnya, sesungguhnya Abu Hurairah ra. Berkata:
Rasulullah saw. Pernah bersabda: "Tidak ada istilah menular, tidak ada
yang namanya tanda (firasat) kesialan, tidak benar cacing perut itu
mendatangkan bencana dan tidak benar roh-roh yang sudah mati itu bisa
menjelma." (Hadits Riwayat Muslim Juz IV hadits no. 102 hal. 70.)
Lihat makalah pengertian Jin, Iblis, dan syetan.
D.
AKAL
PIKIRAN DAN BATAS-BATASNYA
Akal
pikiran manusia terbatas penggunaannya pada alam yang dapat diraba oleh indra.
Akal pikiran tidak mampu melihat alam ghaib (metafisika) karena kekuatan
berpikir kita hanya mampu menyatukan suatu gambaran, ingatan dan khayalan.
Kecerdasan manusia mampu menganalisa
sesuatu, membuat komposisi, menyatukan, membagi-bagi, mengambil intisari berupa
kaidah-kaidah umum dan melakukan qiyas. Setelah mengumpulkan hasil pengamatan
terhadap alam sekitar, maka berbagai macam indra dapat menentukan sesuatu (yang
terbatas) sesuai dengan jangkauan masing-masing. Oleh karena itu, alam yang
dapat diraba dengan indra berbeda dengan alam gaib. Tidak mungkin menetapkan
keduanya sebagai hal yang sama, karena indra manusia belum pernah mendapatkan
pengetahuan dengan cara menjangkau hal-hal yang ghaib.
Akal
manusia tidak dapat menetapkan sesuatu yang ghaib [baik berupa pernyataan
menerima ataupun menolak] dengan sekehendak hati. Kita baru dapat menerima atau
menolak sesuatu yang bersifat ghaib setelah adanya berita yang dapat diterima
oleh akal yang menyatakan bahwa itu benar, seperti dikisahkan di dalam Kitab
Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (2/400). Dikatakan: "Sungguh
aku benar-benar melihat surga dan neraka." Ia ditanya, "Bagaimana itu
bisa terjadi?" Jawabnya, "Aku melihat keduanya dengan kedua mata
Rasulullah saw. Penglihatanku kepada surga dan neraka dengan kedua mata
Rasulullah saw. lebih berpengaruh menurutku dan lebih aku percayai ketimbang
penglihatanku dengan kedua mataku. Karena kedua mataku bisa saja sesat sedang
pandangan Rasulullah saw, tidak!."
"Berita"
yang disebutkan barusan di atas itu yang disebut 'Basyir" (Berita-berita
yang dibawa oleh para rasul Allah adalah dapat dipercaya).
Semisal
ada seseorang yang mengatakan bahwa ia percaya bahwa disuatu belahan bumi ada
suatu negeri yang bernama negeri 'China'. Lantas bila dikatakan, Bagaimana itu
bisa terjadi? Padahal Anda belum pernah kesana? Maka dijawabnya, Aku
mengetahuinya dari berita-berita yang ada di TV, atau koran-koran. Bagi orang
yang belum pernah pergi ke negeri China tersebut, maka hal itu adalah ghaib
baginya. Tapi ia dapat mempercayai karena adanya berira-berita yang ada di
media masa tentang negeri tersebut.
Mengingat
kenyataan bahwa alam rabaan manusia itu terbatas, maka akal pikiran manusia
juga terbatas atas dua hal:
Pertama,
Terbatas oleh dua hal, yaitu oleh faktor waktu dan faktor tempat. Oleh karena
itu, akal pikiran manusia senantiasa bertanya denan: 'kapan' dan 'dimana'.
Sebab segalah sesuatu yang terjangkau dan dapat dirasakan oleh indra kita
berada di suatu tempat tertentu dan berada pada suatu waktu tertentu (Ttentunya
hal ini tidak mencakup Dzat Allah yang tidak terbatas oleh adanya waktu dan
tempat, karena Dia-lah yang menciptakan waktu dan tempat itu sendiri]
Kedua,
terbatas ketika menyatakan ketidakmampuannya memastikan salah satu dari dua
kemungkinan mengenai sesuatu di jagat raya ini. Misalnya, seorang bertanya:
"Alam raya ini terbatas atau tidak?" Sedangkan jika ia menjawab bahwa alam semesta ini tidak
terbatas, maka ia akan bertanya lagi, "Bagaimana mungkin sesuatu itu tidak
terbatas." Demikian seterusnya. Hal ini mengharuskan dirinya
menimbang-nimbang salah satu dari dua kemungkinan (tidak ada yang ketiga),
sedangkan ia tiak mau atau tidak pasrah menerima salah satu dari dua
kemungkinan itu. Yang demikian itu menunjukkan bahwa akal pikiran manusia
sangat terbatas. Jika akal pikiran
manusia itu sangat terbatas dalam hal mengenai segala sesuatu yang ada di jagat
raya ini, dan tidak mampu mengenal haikikatnya, maka sudah tentu ia lebih tidak
mampu mengenal hakikat yang bersifat ghaib (metafisika). Dalam hal ini, Imam
Syafi'i berkata, "Janganlah merasa
sesuatu itu tidak mungkin, wahai orang yang menekuni dunia logika. Suatu
[batasan] akan muncul, yang tidak terjangkau oleh akal atau terbersit dalam
pikiran."
Bukankah
(bagi Kelelawar) adanya cahaya matahari disiang hari akan membuat matanya tidak
melihat, justru dalam kegelapan malamlah ia dapat melihat." Demikian pula manusia, bila matanya dapat
melihat sesuatu, hal itu bukan disebabkan karena peran semata dari
matanya, tapi karena disana 'cahaya'
yang membuat mata itu dapat berfungsi.
"Matahari'
adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang mempunyai indra penglihatan sangat
kuat, tajam, dan sangat luas cakupannya, Adalah bila sesuatu itu 'materi' , maka ia akan terlihat ketika
cahaya matahari menyorotinya yang akan menimbulkan bayang-bayang diseketiranya.
Sedangkan segala sesuatu yang 'inmateri' (ghaib) tidaklah akan terlihat tatkala
cahaya matahari melihatnya, karenanya ia tidak akan mempunyai bayang-bayang.
“Hanya
kepada Allah lah sujud (patuh) segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa”. (Dan sujud pula) bayang-bayang di
waktu pagi dan petang hari.” (QS.13 Ar-Ra’ad :15).
Manusia adalah salah satu makhluk materi yang
dapat terlihat oleh tatapan cahaya matahari, karenanya ia mempunyai bayang-bayangan.
Sedangkan Jin, setan dan sejenisnya adalah makhluk 'inmateri (ghaib) yang tidak
dapat dilihat oleh matahari, karena ia tidak mempunyai bayang-bayangan.
Pernahkan kita melihat atau mendengar bahwa jin, setan itu mempunyai
bayang-bayang? Tentu tidak. Hal ini adalah bukti bahwa mereka adalah makhluk
'inmateri' yakni, sesuatu yang tidak terlihat.
Bila penglihatan 'matahari' saja tidak dapat melihat mereka (jin, setan
dan sejenisnya). Maka bagaimana mungkin mata manusia yang kecil, lemah dan
serba terbatas, lantas dia mengaku bisa melihatnya? Pahadal Allah swt, telah berfirman,
Sesungguhnya
ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu
tidak bisa melihat mereka. (QS. Al-A'raf, 7: 27).
Akhirnya
dari permasalah yang kita bahas tadi, dapat kita simpulkan beberapa hal sebagai
berikut,
§ Indra
manusia yang merupakan sarana untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan bersifat
terbatas, tidak dapat menjangkau segala sesuatu yang wujud,
§ Kemampuan
kita untuk mengkhayalkan sesuatu sejauh manapun kita membayangkan bersifat
terbatas, yaitu sesuai dengan apa yang dapat dijangkau oleh indra manusia.
§ Akal
pikiran manusia sangat terbatas dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu yang
ada di jagat raya ini dengan pengetahuan yang pasti.
A.
ALAM NYATA DAN ALAM GHAIB.
1.
Hakikat Alam Ghaib
Segala
sesuatu yang dapat dikenal oleh indra manusia dan dapat berhubungan dengannya
disebut 'materi'. Kita dapat meraba keberadaannya melalui indra dan tidak ada
yang meragukannya, kecuali para 'tunanetra'. Disamping itu, di jagat
raya ini banyak terdapat hal ghaib yang tidak terjangkau oleh panca indra,
namun keberadaannya sangat meyakinkan sehingga kita harus mengimaninya
(mempercayainya). Kenyataan yang demikian itu kita namakan 'sesuatu'
atau 'alam ghaib'.
Contohnya
adalah keberadaan 'roh' di jasad kita. Sekalipun mata kita tidak pernah
melihatnya, telinga kita tidak pernah mendengarnya, dan indra perasa kita tidak
pernah merasakannya, kita meyakini keberadaannya. Kita meyakininya
keberadaannya melalui buktu pada jiwa kita. Bukankan perbedaan antara orang
yang hidup dan jasad yang sudah mati membuktikan akan keberadaan 'roh'. Ini
merupakan suatu aksioma' (aksioma adalah kenyataan yang diterima sebagai
kebenaran dengan tidak perlu dibuktikan atau diterangkan lagi).
Di
jagat raya terdapat sangat banyak kekuatan yang kita kenal hanya dengan melihat
tandanya. Misalnya, ada dua batang besi yang sama warna, berat, besar dan
bentuknya. Besi pertama dilapisi magnet, sedang besi kedua tidak. Jika kita
hanya menggunakan pancaindra, kita tidak dapat menentukan, maka besi yang
dilapisi magnet dan mana besi yang tidak dilapisi magnet, sebab indra kita
tidak mampu membedakannya. Ketika kita melihat besi pertama dapat menarik besi
lainnya, sedangkan besi kedua tidak dapat melakukan hal yang sama, maka melalui
pembuktian akal itu kita menyatakan adanya kekuatan ekstra pada besi pertama.
Demikian pula dengan masalah lain.
Masalah
roh yang terdapat dalam jasad kita merupakan langkah pertama dalam mengenal
alam ghaib. Sebab, roh ini dekat dengan jasad kita, tetapi akal kita tidak
dapat menjangkaunya. Tapi kita bisa membedakan antara orang yang memiliki roh
dan yang tidak memilikinya. (orang mati). Hal ini menunjukkan bukti bahwa
berdalil dengan menggunakan akal atau fitrah dapat menunjukkan sesuatu yang
ghaib yang jauh dari jangkauan indra kita. Namun, kita tidak dapat menjelaskan
dan menggambarkan yang ghaib itu secara pasti. Demikian pula terdapat jutaan
kemungkinan yang dapat digambarkan oleh akal kita, namun kita tidak dapat menentukan
dengan pasti karena tidak ada dalil penguat. Dalam hubungan ini, kita tidak
boleng mengqiyas (berdasarkan logika) tentang alam ghaib dengan alam nyata
(yang terjangkau oleh akal kita). Sebab mungkin saja terdapat perbedaan dalam
hal bentuk, sifat-sifat khusus, dan unsur-unsur di antara keduanya. Lebih
daripada itu, kita belum pernah mengadakan kontak dengan alam ghaib dengan
menggunakan pancaindra kita.
Jika
kita (secara aksioma dan berdasarkan dalil) mempercayai akan keberadaan roh
dalam jasad kita, maka kita pun dapat juga secara aksioma dan berdasarkan dalil
bahwa adanya alam semesta beserta keaneka-rahaman makhluk didalamnya
membuktikan bahwa ada yang menciptanya, yakni Allah swt. Sebagaimana kita tidak
dapat menggambarkan apa dan bagaimana roh tersebut (sebagai salah satu bentuk
ghaib yang terdekat dengan kita), maka sangat mustahil bila kita menggambarkan
apa dan bagaimana Dzat Allah Yang Khalik dan Mahaagung itu. Bagaimana dapat
dibenarkan manusia mengetahui tentang Dzat-Nya, sedangkan kita ketahui bahwa
Allah swt mengetahui segala sesuatu di jagat raya ini, sedangkan manusia tidak.
Bagaimana mungkin manusia ingin menggambarkan apa dan bagaimana Dzat Allah Yang
Khalik dan Mahaagung itu. 'Subhanallahu'
Padahal
Dzat Allah swt, itu lebih agung daripada yang dicakup oleh 'akal' manusia,
atau dijangkau oleh 'pikiran' manusia. Sebab, akal dan pikiran itu
sekalipun bisa mencapai ketinggian jangkauan, kekuatannya itu terbatas dan
kemampuannya terbatas pula. Bukankah akal kita tidak mampu mengetahui mengetahui
hakikat dari akal itu sendiri? Sedangkan matahari tidak mengetahui dirinya
sendiri, kenapa ia bisa menyala? Maka, manusia pasti lebih gagal lagi dalam
mencapai Dzat Allah swt.. (pahadal kita mengetahui bahwa sampai saat ini akal
kita bagaimana pun hebatnya, tidaklah ia mengetahui akan hakikat alam yang ada
disekitarnya, selain hanya bisa mengambil manfaat terhadap benda-benda
disekitarnya, seperti listrik, magnet), demikian pula dengan segala macam
tumbuh-tumbuhan, hewan ternak dan
sebagainya. Adakah kita mengetahui hakikat dibalik hewan ternak yang
mengeluarkan antara susu dan kotoran, padahal ia keluar dari tubuh yang satu.
Demikian pula dengan keaneka-ragaman tumbuh-tumbuhan, buah-buahnya, serta
perbedaan rasanya, padahal ia tumbuh ditanah yang satu dan sama. Adakah kita
mengetahui akan hakikatnya.
Dapatkah
bakteri yang telah masuk dalam tubuh manusia, kemudian ia kesana-kemari dalam
tubuh itu sejak kepala sampai dengan telapak kaki, sampai dengan kedua ujung
jari, sampai dengan bagian-bagian badan lainnya, apakah ia mampu setelah
berputar-putar itu menyifati jasad atau mengetahui hakikatnya?
WAHYU SEBAGAI
SARANA PENGENAL GAIB
Seperti
telah kita singgung dalam pembahasan di atas, sekalipun bebas merdeka, akal
pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengenal dan menyelami hal-hal
yang bersifat ghaib. Alam ghaib juga tidak berhubungan dengan manusia melalui
indra manusia. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa akal pikiran manusia
bagaimana luluasa dan merdekat, tetap tidak akan mengenal hal yang ghaib
bbarang sedikit pun. Oleh karena itu, segala pengetahuan yang berada di luar
jangkauan akal pikiran manusia hanya dapat dicapai 'melalui jalur' yang
merupakan bagian dari dari alam ghaib atau yang berhubungan degnan alam ghaib.
Dalam hubungan ini akan kita bahas kepastian kebenaran pembawa berita tentang alam ghaib setelah ia berhubungan
dengan alam ghaib tersebut.
Kita
ketahui bahwa para Nabi dan Rasul adalah sosok manusia yang dapat dipercaya,
dan segala apa yang mereka bawa kepada kita tidak diragukan lagi. Kita ketahui
pula mereka dipilih oleh Allah swt untuk menjadi utusan-Nya kepada umat
manusia, karena hati dan jiwanya bersih. Melaui wahyu, mereka mendapatkan
pengetahuan tentang berbagai hal-hal ghaib secara meyakinkan, gamblang dan
jelas. Kemudian mereka (para Nabi dan Rasul) menyampaikan kepada umat manusia
apa yang mereka terima melalui wahyu itu. Tinggalah kita, setelah mengetahui
dengan pasti bahwa para Nabi dan Rasul itu benar dan dapat dipercaya [karena di
dukung oleh berbagai mu'jizat dengan seizin Allah] mengimani mereka dengan
sepenuhnya tanpa keraguan.
Setelah
kita mengimani secara mantap kebenaran para Nabi dan Rasul-Nya serta wahyu yang
dibawanya, maka menurut logika wajib bagi kita membatasi nash (wahyu) yang
mereka bawa, tanpa menambahinya dengan gambaran dan khayalan. Mereka juga tidak
melakukan ta'wil secara berlebihan kecuali setelah wahyu memberitakan kepada
kita hal yang dapat diterima akal sehat, misalnya melalui penelitian ilmiah
yang dapat dipertanggung-jawabkan. Pada dasarnya, setiap penambahan atau takwil
yang berlebihan terhadap nash (wahyu) merupakan langkah menetapkan perkara gaib
secara batil. Tindakan ini tidak bersandar pada kenyataan yang dapat diraba
oleh indra atau bersandar pada hasil pengamatan dan pemikiran akal yang logis,
atau bersandar pada nash yang dibawa para rasul melalui wahyu.
Dari
pembahasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Sesungguhnya akal pikiran manusia sesuai
dengan instingnya tidak leluasa untuk menjangkau alam gaib, termasuk masalah
wahyu.
2.
Wajib bagi kita membatasi
perkara-perkara yang gaib sebatas nash yang diwahyukan.
PERKARA GAIB
YANG MENJADI PERKARA NYATA
Perkara
yang pada masa dahulu dianggap gaib, dapat berubah statusnya melalui penelitian
ilmiah dan temuan ilmu pengetahuan modern. Dengan kata lain, suatu perkara gaib
beralih menjadi perkara nyata. Misalnya, seandainya manusia melalui penelitian
ilmiah mampu menjangkau alam falak (bintang dengan berbagai ragamnya di
angkasa), maka perkara perbintangan di angkasa menjadi perkara yang nyata,
bukan perkara gaib yang tidak terjangkau oleh indra. Demikian pula jika halnya
manusia mengetahui sebab-sebab alami lainnya, seperti mengetahui saat akan
turun hujan, mengetahui posisi janin di dalam rahim melalui sinar laser, ronten, atau alat-alat
lain. Semua membuat hal yantg dahulu gaib menjadi nyata, yang memungkinkan kita
membicarakan hal wujud di jagat raya, yang dapat dikenal melalui pancaindra. Di
zaman sekarang, memang para ahli dokter telah mengetahui letak janin bayi di
dalam kandungan, bahkan ada yang mendeteksi ke arah penentuan jenis kelamin
laki-laki atau perempuan. Hal ini bisa diketahui setelah si janin sudah ada di
dalam perut ibunya. Sedangkan sebelum ibu mengandung, masalah itu masih gaib,
apakah si ibu mempunyai anak atau tidak, jenisnya laki atau perempuan. Tapi
setelah si ibu mengandung dan diadakan penelitian ilmiah dan analisa-analisa
kemungkinan, diperkirakanlah akan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Tapi
kemudian yang menjadi gaib lagi bagi si bayi adalah mengenai bagaimanakah
rezekinya ?, bagaimana nasib baik dan buruknya?. Maka semua itu adalah masalah
gaib bagi manusia, kecuali hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Maha Benar
Firman Allah yang tertulis di lauh Mahfuzh :
"Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan,
dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan
tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)." (QS. Al-An'am 6:59).
PEMBAGIAN ALAM MENURUT ALQURAN
Al-Qur'an Karim
membagi alam menjadi dua, yaitu alam ghaib dan alam nyata. Ayat-ayat Al-Qur'an
mengisyaratkan hal ini:
"Dialah
Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang."
(QS, Al-Hasyr, 59: 22).
"Allah
mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang
kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya dan
ukuran-Nya. Yang mengetahui semua gaib dan yang tampak. Yang Maha Besar lagi
Maha Tinggi. Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya
dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di
malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari."
(QS. Ar-Rad, 13: 8-10).
Pengertian kata
'gaib' secara umum adalah yang tidak terjangkau oleh indra manusia. Sedangkan
kata 'syahadah' (nyata) adalah segala perkara yang terjangkau oleh manusia
dengan menggunakan indra.
Dalam firman
Allah swt, tersebut, hal yang gaib di dahulukan daripada hal yang nyata.
Hikmahnya adalah karena perkara yang gaib itu tidak terbatas oleh tempat dan
waktu. Berbeda dengan alam nyata, yang memungkinkan kita menyaksikan dan
mengenalnya dengan menggunakan indra. Firman-Nya,
"Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: 'Roh itu termasuk urusan
Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS.
Al-Isra', 17: 85).
PERKARA GAIB
ADALAH MONOPOLI ALLAH SWT.
Hal-hal
yang bersifat ghaib tidak bisa diraba dan dijangkau oleh indra manusia. Ini
merupakan kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah swt. Semeua tidak diberitahukan
kepada siapapun dari makhluk-makhluk-Nya, baik di bumi maupun di langit. Hal
ini ditegaskan oleh Allah swt, dalam firman-Nya,
"Katakanlah:
"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
gaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan." (QS. An-Naml, 27: 65).
Telah
disinggung bahwa alam bagi makhluk terbagi menjadi dua, alam gaib dan alam
nyata. Adapun alam gaib terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
§ Bagian
yang mungkin berubah menjadi alam nyata. Seandainya makhluk-makhluk di jagat
raya (manusia) dapat memenuhi persyaratan ini, ini merupakan bagian besar alam
nyata.
§ Bagian
yang tidak mungkin berubah menjadi alam nyata karena merupakan bagian yang
hanya diketahui oleh Allah swt, semata.
Pada
sisi lain, ada bagian yang bagi manusia atau makhluk lainnya merupakan alam
gaib, sedangkan bagi makhluk alllah yang lain, seperti jin dan malaikat,
merupakan alam nyata. Demikian pula bagi manusia, jin dan malaikat adalah
makhluk gaib, tapi tidak untuk mereka. Dan demikian pula bagi jin, kematian
Nabi Sulaiman as, adalah hal-hal yang gaib (tidak diketahui). Mereka (kelomok
jin) tidak mengetahui ketika raja yang menguasainya telah meninggal. Karena ia
tetap bekerja dibawah kekuasaan jenazah Nabi Sulaiman. Barulah kemudian setelah
rajanya itu jatuh dari kursi kerajaan dan di dapai telah meninggal, barulah
mereka mengetahui (tidak gaib), bahwa Nabi Sulaiman telah meninggal. Demikian
pula bagi jin, malaika itu bagi mereka adalah ghaib, tetapi tidak untuk sesama
malaikat. Waktu Nabi Muhammad saw Isra' Mi'raj, mereka (para malaikat) belum
mengetahui (gaib) bila Nabi Muhammad saw, yang ditunggu-tunggu kedatangannya
telah lahir di dunia. Mereka para malaikat saat itu bertanya kepada Malaikat
Jibril yang membawa Nabi Muhammad saw, dari langit perlangit. Pada setiap
tingkatan langit yang dilewatinya, masing-masing para malaikat penghuni dari
langit satu sampai tujuh bertanya kepada Malaikat Jibril yang membawa,
"Apakah Nabi yang dijanjikan itu telah datang? Barulah setelah mereka
menyaksikan kedatangannya, maka hal itu tidak ghaib lagi.
Demikian
pula, bagi malaikat yang menghuni dari langit satu sampai langit tujuh, bagi
mereka antara yang satu dengan yang lainnya adalah ghaib. Barulah kemudian
kelak, bila 'Hari Kiamat' telah datang,
dan mereka saling berkumpul satu sama lainnya. Maka hal itu tidak menjadi gaib
lagi. Demikian seterusnya.
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan dan bahwa alam secara keseluruhan di bagi
menjadi dua:
§ Alam
nyata (alam dunia)
§ Alam
Gaib (akhirat)
Pada alam nyata (alam
dunia), gaib terbagi menjadi dua: Gaib pada masa lalu dan gaib pada masa yang
akan datang. Bagi kita yang hidup di zaman sekarang, para Nabi-nabi terdahulu
adalah sesuatu yang gaib. Kita tidak mengalami kebersamaannya hidup dengan mereka. Tetapi melalui jejak-jejak
tapak yang merek tinggalkan, maka diketahuilah bahwa mereka pernah ada. Kemudian, adalah alam gaib (alam akhirat),
dimana manusia tidak akan mengetahuinya atau bisa memasuki kecuali dengan
persyaratan-persyaratan khusus. Misalnya kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar